Thursday, December 26, 2019

Marsigit Philosophy Class 2019 Assignment 1 Permasalahan penilaian dalam pembelajaran Bahasa Inggris

Marsigit Philosophy Class 2019 Assignment 1
PERMASALAHAN PENILAIAN DALAM PEMBELAJARAN BAHASA INGGRIS
Oleh
Laily Amin Fajariyah
(NIM. 19701261019)

Marsigit Philosophy Class 2019 Assignment 1. Berdasarkan pengalaman saya mengajar Bahasa Inggris di sebuah SMP di Gunungkidul sejak 2010, pembelajaran Bahasa Inggris masih menjadi pembelajaran yang “ditakuti” selain Matematika. Siswa merasakan semacam beban dalam belajar Bahasa Inggris. Mereka belajar mata pelajaran tersebut karena memang bagian dari pembelajaran wajib di sekolah. Kurangnya kesadaran pentingnya Bahasa Inggris dalam kehidupan sehari-hari menjadikan motivasi belajar mereka kurang. Di sini sebagai guru, tugas saya yang pertama adalam membuat mereka tertarik belajar Bahasa Inggris dan kemudian aktif dalam pembelajaran.
Dalam pembelajaran Bahasa Inggris, ada empat keterampilan yang harus dimiliki siswa. Keempat keterampilan tersebut adalah: membaca, menulis, mendengarkan, dan berbicara. Setiap keterampilan mempunyai tantangan tersendiri. Berbicara/speaking merupakan salah satu keterampilan yang diajarkan kepada siswa dalam pembelajaran Bahasa Inggris. Keterampilan ini adalah salah satu dari keterampilan produktif bahasa yang terdiri dari menulis/writing dan berbicara/speaking. Berbicara adalah salah satu keterampilan yang paling menantang untuk diajarkan di kelas. Dalam proses pembelajaran, tidak semua siswa mampu menunjukkan keterampilan berbicara dengan mudah setelah belajar Bahasa Inggris misalkan ungkapan tertentu. Berdasarkan pengamatan dan pengalaman mengajar saya selama hampir 10 tahun, berbagai faktor, baik kognitif maupun afektif mempengaruhi keterampilan siswa tersebut. Dalam sisi afektif, sikap siswa yang masih malu-malu dan kurang percaya diri mempraktikkan Bahasa Inggris yang dia peroleh menjadi salah satu penghambat siswa untuk bisa praktik berbicara dengan lancar. Sedangkan dalam sisi kognisi, pengetahun bahasa siswa yang masih kurang dari sisi vocabulary atau kosa kata dan tata bahasa serta pronunciation disinyalir sebagai penyebab kurangnya siswa terampil berbicara dalam Bahasa Inggris.
Berbagai cara telah dilakukan untuk membantu siswa “berbicara”. Cara-cara seperti drilling, games, proyek, dan berbagai praktik lainnya telah dicoba di kelas baik dalam pembelajaran maupun dalam penilaian siswa. Dari sisi penilaian yang dilakukan, didapatkan hasil yang tidak memuaskan untuk semua siswa. Hal ini menunjukkan tidak setiap teknik ataupun metode mampu mengakomodasi semua siswa dan dianggap baik untuk setiap siswa. Masih ada beberapa siswa yang mengalami permasalahan dalam pembelajaran. Hal ini sejalan dengan teori postmethod era yang menyatakan bahawa “no single approach or method is best suited for all teaching contexts” (Kumaravadivelu, 2006; Brown, 2007b).
Ditelusuri lebih lanjut, siswa yang ada di kelas tidak memiliki kemampuan yang sama, ada siswa yang high performing atau tergolong sangat cakap, average atau siswa menengah, dan ada siswa yang kurang atau low performing, bahkan ada pula siswa dengan kebutuhan khusus atau ABK. Keberagaman yang ada ini sering terabaikan baik dalam proses pembelajaran dan pengabaian ini berlanjut pada penilain. Dalam proses pembelajaran, semua siswa diajar dengan model yang sama dan diharapkan akan memiliki pace of learning atau kecepatan belajar yang sama.  Dari pembelajaran yang sama ini, beberapa siswa mungkin merasakan ketidaknyamanan atau ketertinggalan yang berakibat kurang maksimal dalam pembelajaran.
Selanjutnya, dalam penilaian keberagaman antar siswa juga sering diabaikan. Siswa diperlakukan secara sama sehingga mereka mendapatkan penilaian dengan system yang sama dengan standar tertentu. Sebagai contoh dalam penilaian berbicara di kelas Bahasa Inggris, semua siswa dinilai agar bisa mendeskripsikan tokoh terkenal melalui presentasi. Siswa dengan high performing, akan merasa tertantang dan mempresentasikan tokoh yang dideskripsikan dengan bahasa yang detail dengan lancar dan pelafalan serta intonasi seperti penutur asli.
Siswa yang berada pada rata-rata, kemungkinan bisa mempresentasikan tokoh tersebut dengan bahasa yang tepat dan penyampaian yang sederhana. Sedangkan permasalahan akan muncul pada siswa low performing, mereka bisa saja masih mengalami untuk mempresentasikan tokoh tersebut. Beberapa kesulitan terkait unsur kebahasaan dasar seperti kosa-kata yang harus digunakan dalam mendeskripsikan. Mereka masih perlu exposure atau pajanan kata sifat seperti misal inspiring, awesome, gorgeous, dsb. Hal ini membuktikan permasalahan pembelajaran Bahasa Inggris khususnya terkait keterampilan berbicara masih perlu untuk terus dikaji dan dipecahkan. 
Dari penjabaran di atas, dapat diidentifikasi permasalahan pembelajaran di kelas saya sebagai berikut:
1.      Bahasa Inggris masih menjadi mata pelajaran yang “ditakuti”.
2.      Bahasa Inggris menjadi beban bagi siswa, siswa belum sadar pentingnya Bahasa Inggris.
3.      Motivasi untuk belajar Bahasa Inggris masih rendah.
4.      Pembelajaran Bahasa Inggris dalam keempat keterampilan memiliki tantangan masing-masing.
5.      Keterampilan produktif siswa yang berupa menulis dan berbicara menuntut siswa memproduksi Bahasa Inggris merupakan keterampilan yang “menantang”.
6.      Dalam proses pembelajaran, tidak semua siswa mampu menunjukkan keterampilan berbicara dengan mudah.
7.      Kendala afektif dalam berbicara terjadi misalnya kurangnya kepercayaan diri siswa dalam berbicara.
8.      Kendala/faktor kognitif adalah pengetahun bahasa siswa yang masih kurang dari sisi vocabulary atau kosa kata.
9.      Kurangnya pengetahuan siswa dalam tata bahasa.
10.  Kurangnya pengetahuan dan kepercayaan diri untuk melafalkan/pronunciation disinyalir sebagai penyebab kurangnya siswa terampil berbicara dalam Bahasa Inggris.
11.  Guru mencoba berbagai Teknik (drilling, games, survey, projek) dalam pembelajaran dan penilaian Bahasa Inggris dan belum semuanya sukses.
12.  tidak setiap teknik ataupun metode mampu mengakomodasi semua siswa dan dianggap baik untuk setiap siswa (“no single approach or method is best suited for all teaching contexts”)
13.  Siswa yang ada di kelas tidak memiliki kemampuan yang sama, ada siswa yang high performing atau tergolong sangat cakap, average atau siswa menengah, dan ada siswa yang kurang atau low performing, bahkan ada pula siswa dengan kebutuhan khusus atau ABK.
14.  Pembelajaran masih dilakukan dengan cara yang sama untuk semua jenis siswa (low performing, average, high performing, dan bahkan ABK) 
15. Dalam penilaian keberagaman antar siswa juga sering diabaikan. Siswa diperlakukan secara sama sehingga mereka mendapatkan penilaian dengan system yang sama dengan standar tertentu.

*) Postingan ini adalah bagian dari tugas akhir Mata Kuliah Filsafat Penelitian dan Evaluasi Pendidikan pada Semester 1 Prodi S3 Penelitian dan Evaluasi Pendidikan tahun 2019 yang diampu oleh Prof. Dr. Marsigit, MA

Thursday, November 21, 2019

Marsigit Philosophy Class 2019 Assignment Kajian Filsafat Bahasa

Marsigit Philosophy Class 2019 Assignment
Kajian Fillsafat Bahasa dalam Permasalahan Penilaian Berbicara Bahasa Inggris

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Berbicara/speaking merupakan salah satu keterampilan yang diajarkan kepada siswa dalam pembelajaran Bahasa Inggris. Keterampilan ini adalah salah satu dari keterampilan produktif bahasa yang terdiri dari menulis/writing dan berbicara/speaking. Berdasarkan pengalaman saya mengajar Bahasa Inggris di sebuah SMP di Gunungkidul sejak 2010, berbicara adalah salah satu keterampilan yang paling menantang untuk diajarkan di kelas. Dalam proses pembelajaran, tidak semua siswa mampu menunjukkan keterampilan berbicara dengan mudah setelah belajar Bahasa Inggris misalkan ungkapan tertentu. Berdasarkan pengamatan dan pengalaman mengajar saya selama hampir 10 tahun, berbagai faktor, baik kognitif maupun afektif mempengaruhi keterampilan siswa tersebut. Dalam sisi afektif, sikap siswa yang masih malu-malu dan kurang percaya diri mempraktikkan Bahasa Inggris yang dia peroleh menjadi salah satu penghambat siswa untuk bisa praktik berbicara dengan lancar. Sedangkan dalam sisi kognisi, pengetahun bahasa siswa yang masih kurang dari sisi vocabulary atau kosa kata dan tata bahasa serta pronunciation disinyalir sebagai penyebab kurangnya siswa terampil berbicara dalam Bahasa Inggris.
Berbagai cara telah dilakukan untuk membantu siswa “berbicara”. Cara-cara seperti drilling, games, proyek, dan berbagai praktik lainnya telah dicoba di kelas baik dalam pembelajaran maupun dalam penilaian siswa. Dari sisi penilaian yang dilakukan, didapatkan hasil yang tidak memuaskan untuk semua siswa. Hal ini menunjukkan tidak setiap teknik ataupun metode mampu mengakomodasi semua siswa dan dianggap baik untuk setiap siswa. Masih ada beberapa siswa yang mengalami permasalahan dalam pembelajaran. Hal ini sejalan dengan teori postmethod era yang menyatakan bahawa “no single approach or method is best suited for all teaching contexts” (Kumaravadivelu, 2006; Brown, 2007b).
Ditelusuri lebih lanjut, siswa yang ada di kelas tidak memiliki kemampuan yang sama, ada siswa yang high performing atau tergolong sangat cakap, average atau siswa menengah, dan ada siswa yang kurang atau low performing, bahkan ada pula siswa dengan kebutuhan khusus atau ABK. Keberagaman yang ada ini sering terabaikan baik dalam proses pembelajaran dan pengabaian ini berlanjut pada penilain. Dalam proses pembelajaran, semua siswa diajar dengan model yang sama dan diharapkan akan memiliki pace of learning atau kecepatan belajar yang sama.  Dari pembelajaran yang sama ini, beberapa siswa mungkin merasakan ketidaknyamanan atau ketertinggalan yang berakibat kurang maksimal dalam pembelajaran.
Selanjutnya, dalam penilaian keberagaman antar siswa juga sering diabaikan. Siswa diperlakukan secara sama sehingga mereka mendapatkan penilaian dengan system yang sama dengan standar tertentu. Sebagai contoh dalam penilaian berbicara di kelas Bahasa Inggris, semua siswa dinilai agar bisa mendeskripsikan tokoh terkenal melalui presentasi. Siswa dengan high performing, akan merasa tertantang dan mempresentasikan tokoh yang dideskripsikan dengan bahasa yang detail dengan lancar dan pelafalan serta intonasi seperti penutur asli.
Siswa yang berada pada rata-rata, kemungkinan bisa mempresentasikan tokoh tersebut dengan bahasa yang tepat dan penyampaian yang sederhana. Sedangkan permasalahan akan muncul pada siswa low performing, mereka bisa saja masih mengalami untuk mempresentasikan tokoh tersebut. Beberapa kesulitan terkait unsur kebahasaan dasar seperti kosa-kata yang harus digunakan dalam mendeskripsikan. Mereka masih perlu exposure atau pajanan kata sifat seperti misal inspiring, awesome, gorgeous, dsb. Hal ini membuktikan permasalahan pembelajaran Bahasa Inggris khususnya terkait keterampilan berbicara masih perlu untuk terus dikaji dan dipecahkan.  
Untuk mencari solusi dalam memecahkan permasalahan dalam pembelajaran berbicara tersebut, dua hal akan dikaji lebih dalam dalam makalah ini, yakni “berbicara atau speaking” dan “keberagaman atau difference”.  Kedua permasalahan tersebut akan dikaji dengan mencoba memahami konsep “berbicara” yang merupakan bagian tak terpisahkan dalam suatu bahasa, sehingga kemudian perlu dikaji lebih mendalam filsafat bahasa atau philosophy of language. Dalam kajian filsafat bahasa ini, kemudian akan dijabarkan ontologis, epistimologis, dan aksiologis bahasa yang kemudian dipergunakan untuk landasan mencari pemecahan masalah untuk permasalahan “berbicara” dan “keberagaman siswa” yang sudah disampaikan di latar belakang ini. 

B.  Rumusan Masalah
Dari latar belakang di atas, maka permasalahan yang akan dikaji dalam makalah ini dirumuskan sebagai berikut:
1.      Apakah filsafat bahasa: kajian ontologis, epistimologis, dan aksiologis bahasa?
2.      Bagaimana menerapkan kajian filsafat bahasa dalam penilaian keterampilan berbicara Bahasa Inggris di kelas?

C. Tujuan Kajian
Adapun tujuan dari makalah ini adalah menjawab pertanyaan yang ada di rumusan masalah di atas. Sehingga, tujuan kajian ini adalah:
1.      Mengkaji filsafat bahasa: kajian ontologis, epistimologis, dan aksiologis bahasa.
2.      Mengkaji penerapan filsafat bahasa dalam penilain keterampilan berbicara Bahasa Inggris.

D. Manfaat Kajian
Kajian ini diharapkan memberikan manfaat, baik secara teoretis maupun praktis. Secara teoritis, kajian ini diharapkan bisa memberikan pengetahuan lebih mendalam tentang filsafat bahasa dan kebermanfaatannya dalam pembelajaran Bahasa Inggris, khususnya penilaian keterampilan berbicara.
Sedangkan secara praktis, kajian ini diharapkan bisa memberikan manfaat kepada beberapa kelompok berikut:
1.      Guru Bahaasa Inggris SMP
Dengan adanya kajian ini, diharapkan memberikan manfaat kepada guru Bahasa Inggris SMP dengan memberikan gambaran awal tentang penerapan penilaian yang adil untuk seluruh siswa, khususnya dalam penilaian keterampilan berbicara.
2.      Siswa SMP
Dengan pemahaman guru tentang penilaian keterampilan berbicara yang berlandaskan pada filosofis bahasa diharapkan setiap siswa akan mendapatkan keadilan dalam penilaian di kelasnya, khususnya dalam penilaian keterampilan berbicara.
3.      Pengkaji/peneliti lain
Makalah ini diharapkan memberikan ide penelitian untuk peneliti/pengkaji berikutnya.
BAB II
PEMBAHASAN

A.    Filsafat Bahasa
Filsafat bahasa adalah bidang yang luar biasa kaya. Filsafat ini memiliki sejarah panjang.  Zegarac, V. (1998) menyampaikan dua filsafat bahasa di masa Anglo-Saxon akan dibahas di sini adalah Perspektif sistem (system perspective) dan   perspektif guna (Use perspective). Perspektif sistem memiliki paham bahwa “a language as a collection of formal rules: rules which are so simple as to require no insight to apply them.” Bahasa adalah serangkaian peraturan formal yang sederhana dan tidak memerlukan wawasan untuk mengaplikasikannya/menggunakannya. Paham filsafat ini focus pada dua hal, yaitu sintaks dan semantics. Sedangkan Perspektif guna lebih memfokuskan pada apa yang dilakukan manusia dengan bahasa. “a language is a sociocultural practice. It emphasizes what we do with language.” Dalam perspektif guna, bahasa lebih merupakan suatu praktik budaya dan social, sehingga bahasa bukan hanya digunakan untuk mendeskripsikan dunia (seperti yang tersirat dalam perspektif sistem), melainkan bisa digunakan untuk berbagai macam tujuan.
 Menurut filsafat perspektif guna, item linguistik' menurut Perspektif guna adalah tindak tutur - token linguistik, bukan tipe. Sama seperti Perspektif Sistem memiliki pandangan terkait tentang apa artinya, Perspektif guna juga memilikinya. Namun, dalam perspektif guna, kata-kata adalah alat. Dan maknanya, alih-alih menjadi objek abstrak seperti fungsi matematis dan set dunia yang mungkin, melainkan tindakan yang manusia lakukan secara linguistik. Misalnya, arti 'Halo' bukanlah entitas kuasi-matematika yang relevan dengan kebenaran. Melainkan, untuk memberi arti 'Halo', cukup mengatakan: 'Seseorang menggunakan kata ini untuk menyapa orang.
Dari kajian kedua filsafat bahasa tersebut, makalah ini akan mencoba menjabarkan bahasa secara ontologis, epistimologis, dan aksiologis.

1.      Hakikat Bahasa: kajian ontologis
Hakikat bahasa sangat luas untuk diterjemahkan atau dijelaskan dengan suatu ungkapan yang singkat. Ada banyak definisi terkait bahasa itu sendiri. Definisi yang pertama dari Cambridge Dictionary (https://dictionary.cambridge.org/, 2019) mendefinisikan bahasa dalam beberapa definisi. Salah satunya adalah “system of communication by speaking, writing, or making signs in a way that can be understood, or any of the different systems of communication used in particular regions:” Definisi pertama ini menyatakan bahasa sebagai suatu sistem komunikasi melalui berbicara, menulis, atau membuat tanda yang bisa dipahami atau system komunikasi lainnya yang digunakan di area tertentu.” Dalam definisi ini ada unsur bahasa sebagai system komunikasi dan caranya dengan berbicara atau menulis, serta alatnya adalah tanda.
Sedangkan Merriam Webster Dictionary (https://www.merriam-webster.com/, 2019) mendefinisikan bahasa sebagai “a systematic means of communicating ideas or feelings by the use of conventionalized signs, sounds, gestures, or marks having understood meanings” Artinya adalah alat/sarana sistematis untuk mengkomunikasikan ide atau perasaan dengan menggunakan tanda, suara, gerakan, atau tanda bermakna yang sudah konvensional. Dari definisi ini ada beberapa unsur yang termasuk dalam bahasa, antara lain: sistemik, alat mengkomunikasikan ide atau perasaan, symbol, suara, gerakan, dan tanda yang telah konvensional atau lazim dan diketahui orang.
Definisi serupa mengatahan bahasa sebagai bentuk perwakilan symbol-simbol “languages are forms of symbolic representations. Certain meanings are represented through the use of symbols”.   Bahasa juga didefinisikan sebagai suatu alat untuk menyampaikan ide, perasaan, dan keinginan. Selain itu, bahasa juga adalah sistem kesatuan elemen terkait satu sama lain dalam satu atau lain cara. Definisi lainnya, bahasa adalah sistem yang arbitrer berdasarkan sosial konvensi dan merupakan jumlah kiasan yang terikat dengan bunyi yang tidak disengaja dalam satu kesatuan bunyi dan makna (Ufuk Özen Baykent, 2016: 5).
Dari definisi bahasa yang disampaikan berbagai sumber, Brown (2007a: 6), menghasilkan definisi gabungan sebagai berikut:  
1.      Language is systemic.
2.      Language is a set of arbitrary symbols.
3.      Those symbols are primarily vocal but may also be visual.
4.      The symbols have conventionalized meaning to which they refer.
5.      Language is used for communication.
6.      Language operates in a speech community or culture.
7.      Language is essential to human, although possibility not limited to humans.
8.      Language is acquired by all people in much the same way; language and language learning both have universal characteristics.

Dari definisi tersebut bisa disimpulkan bahwa “Bahasa adalah suatu system symbol yang arbriter baik berisi suara maupun gambar yang telah memiliki arti secara konvensional dan digunakan untuk komunikasi dalam sebuah komunitas atau budaya oleh orang-orang”.

2.      Pendekatan Bahasa: kajian epistimologis
Epistemologi ilmu adalah proses yang dilalui untuk membuktikan pengetahuan ilmiah, maka epistemologi bahasa merupakan proses, hal-hal yang perlu diperhatikan, dan cara untuk mendapatkan ilmu bahasa. Suriasumantri (2009: 105) mengatakan bahwa cara kita menyusun pengetahuan yang benar dalam filsafati disebut epistemologi. Oleh karena itu, epistemologi bahasa dapat pula diartikan sebagai ilmu dalam pemerolehan bahasa dan pendidikan bahasa.
Ada beberapa ilmu dalam memperoleh bahasa, yang pertama terkait dalam bahasan language acquisition atau pemerolehan bahasa secara alamiah yang biasanya dihubungkan dengan pemerolehan bahasa pertama atau bahasa ibu. Sedangkan yang kedua adalah language learning atau pembelajaran bahasa yang dilakukan secara sadar dan biasanya terminologi ini digunakan dalam pembelajaran bahasa kedua atau bahasa asing. Bahasa Inggris sendiri di Indonesia merupakan bahasa asing, sehingga ilmu pemerolehan bahasa yang perlu diperdalam dalam pembelajaran di kelas lebih condong kepada penggunaan ilmu language learning.
Pembelajaran bahasa apabila dikaitkan dengan filsafat bahasa mengalami perkembangan sesuai dengan perkembangan filsafat bahasa tersebut. Dalam pendekatan perspektif guna, di mana bahasa dikenal dengan penggunaan bahasa dengan berbagai tujuan komunikasi dalam suatu konteks social budaya, maka konteks social budaya siswa menjadi pertimbangan dalam pembelajaran bahasa. Hal ini juga terlihat pada teori pembelajaran bahasa. Pemahaman tentang proses pembelajaran bahasa kedua telah berubah dalam 40 tahun terakhir dan Pendekatan communicative language teaching yang akan kita singkat dengan CLT pada makalah ini merupakan respons terhadap perubahan ini. Sebelumnya, dalam pengertian pandangan awal pembelajaran bahasa difokuskan terutama pada penguasaan kompetensi gramatikal. Pembelajaran bahasa dipandang sebagai suatu proses pembentukan kebiasaan mekanik. Kebiasaan baik terbentuk dengan memiliki siswa menghasilkan kalimat yang benar dan tidak melalui membuat kesalahan. Kesalahan adalah untuk dihindari melalui peluang terkendali untuk produksi (baik tertulis atau lisan). Dengan menghafal dialog dan melakukan latihan, peluang membuat kesalahan diminimalkan. Belajar sangat dilihat di bawah kendali guru (Richards, 2006: 3).
Namun dalam CLT, tujuan pembelajaran bahasa bukan lagi sebatas kemampuan grammatical dengan menghapal dialog. CLT bertujuan untuk mengajarkan kompetensi komunikasi (Savignon, 2001; Richards, 2006). Savignon selanjutnya menyampaikan 4 komponen dalam kompetensi komunikatif, yaitu: (1) social budaya, (2) strategi, (3) discourse, dan (4) grammatical.
Terkait kompetensi komunikasi tersebut, Richards (2006: 3) menjelaskan bahwa kompetensi komunikatif mencakup aspek-aspek pengetahuan bahasa berikut ini:
1)         Mengetahui cara menggunakan bahasa untuk berbagai tujuan dan fungsi yang berbeda.
2)         Mengetahui cara memvariasikan penggunaan bahasa sesuai dengan tempat dan dan lawan bicara (mis., tahu kapan harus menggunakan formal dan pidato informal atau kapan harus menggunakan bahasa dengan tepat untuk menulis sebagai lawan dari komunikasi lisan).
3)         Mengetahui cara menghasilkan dan memahami berbagai jenis teks (mis., narasi, laporan, wawancara, percakapan).
4)         Mengetahui cara menjaga komunikasi meskipun sudah keterbatasan dalam pengetahuan bahasa seseorang (mis., melalui penggunaan berbagai jenis strategi komunikasi)  
Untuk mencapai kompetensi tersebut, Richards (2006: 4) menyampaikan bahwa pembelajaran bahasa merupakan proses seperti:
1)         Interaksi antara pelajar dan pengguna bahasa.
2)         Penciptaan makna secara kolaboratif.
3)         Menciptakan interaksi yang bermakna dan terarah melalui bahasa.
4)         Negosiasi makna sebagai pelajar dan lawan bicaranya sampai pada pemahaman.
5)         Belajar melalui memperhatikan umpan balik yang didapat peserta saat mereka menggunakan bahasanya.
6)         Memperhatikan bahasa yang didengar (input) dan berusaha untuk memasukkan tata bahasa baru ke dalam kompetensi komunikatif yang sedang berkembang.
7)         Mencoba dan bereksperimen dengan berbagai cara untuk mengatakan sesuatu.

1.      Otonomi Pembelajar:
Memberi siswa pilihan yang lebih besar daripada mereka belajar sendiri, baik dari segi isi pembelajaran juga sebagai proses yang mungkin mereka gunakan. Penggunaan kelompok kecil adalah satu contoh dari otonomi ini, serta penggunaan penilaian diri.
2.      Sifat sosial dari pembelajaran:
Belajar bukanlah individu, aktivitas pribadi, tetapi kegiatan sosial yang tergantung pada interaksi dengan orang lain. gerakan yang dikenal sebagai pembelajaran kooperatif mencerminkan sudut pandang ini.
3.      Integrasi kurikuler:
Koneksi antar berbeda untaian kurikulum ditekankan, sehingga bahasa Inggris tidak dilihat sebagai subjek yang berdiri sendiri tetapi terkait dengan subjek lain dalam kurikulum. Pembelajaran berbasis teks mencerminkan pendekatan ini, dan berupaya mengembangkan kefasihan dalam jenis teks yang dapat digunakan secara keseluruhan kurikulum. Pekerjaan proyek dalam pengajaran bahasa juga membutuhkan siswa untuk mengeksplorasi masalah di luar kelas bahasa.
4.      Fokus pada makna:
Makna dipandang sebagai kekuatan pendorong belajar. Pengajaran berbasis konten mencerminkan pandangan ini dan berusaha untuk jadikan eksplorasi makna melalui konten sebagai inti kegiatan pembelajaran bahasa.
5.      Keragaman:
Peserta didik belajar dengan cara yang berbeda dan berbeda kekuatan. Pengajaran perlu mempertimbangkan keberagaman-keberagaman ini daripada mencoba memaksa siswa menjadi satu cetakan. Dalam bahasa mengajar, ini telah menyebabkan penekanan pada pengembangan penggunaan siswa dan kesadaran akan strategi pembelajaran.
6.      Keterampilan Berpikir:
Bahasa harus berfungsi sebagai sarana untuk berkembang keterampilan berpikir tingkat tinggi, juga dikenal sebagai kritis dan kreatif berpikir. Dalam pengajaran bahasa, ini berarti bahwa siswa tidak belajar bahasa untuk kepentingannya sendiri tetapi untuk mengembangkan dan menerapkan keterampilan berpikir mereka dalam situasi yang melampaui bahasa kelas.
7.      Penilaian alternatif:
Diperlukan bentuk penilaian baru untuk mengganti pilihan ganda tradisional dan item lain yang uji keterampilan tingkat rendah. Berbagai bentuk penilaian (mis., observasi, wawancara, jurnal, portofolio) dapat digunakan untuk membangun gambaran komprehensif tentang apa yang dapat dilakukan siswa dalam sedetik bahasa.
8.      Guru sebagai teman belajar:
Guru dipandang sebagai fasilitator yang terus-menerus mencoba berbagai alternatif, mis., belajar melalui melakukan. Dalam pengajaran bahasa, ini telah menyebabkan minat penelitian tindakan dan bentuk lain dari penyelidikan kelas

Proses dan paradigma tersebut bisa diterapkan dalam pembelajaran bahasa Inggris di kelas dengan pendekatan CLT yang saat ini dikelompokkan dalam empat metode (Richards, 2006). Keempat metode tersebut adalah: (1) communicative language teaching, (2) task-based language teaching, (3) content-based instructions, dan (4) genre-based approach (Baca: Communicative Language Teaching Today dalam Richards, 2006 untuk lebih mendalami keempat metode tersebut).

3.      Pendekatan Aksiologis Bahasa
Selanjutnya, setelah mengaji ontology dan epistimologi bahasa, aksiologis bahasa perlu juga dipahami dalam memahami pembelajaran bahasa. Pendekatan aksiologis mempelajari secara filosofis hakekat nilai atau value. Suriasumantri (2009: 33) mengatakan bahwa aksiologi dalam filsafat ilmu terkait dengan pertanyaan-pertanyaan seperti (1) untuk apa pengetahuan berupa ilmu itu dipergunakan?; (2) bagaimana kaitan antara cara penggunaan tersebut dengan kaidah-kaidah moral?; (3) bagaimana penentuan obyek yang ditelaah berdasarkan pilihan-pilihan moral?; dan (4) bagaimana kaitan antara teknik procedural yang merupakan operasionalisasi metode ilmiah dengan norma-norma moral/profesional?
Sedangkan Marsigit (2004) mengkaji penerapan filsafat dalam pembelajaran Matematika, pendekatan aksiologis dalam pembelajaran matematika menjawab pertanyaan seperti “Apakah matematika sebagai kenyataan yang bernilai atau yang diberi nilai? Apakah nilai dari kenyataan matematika bersifat intrinsik, ekstrinsik atau sistemik? Apakah nilai matematika bersifat pragmatis atau semantik?” Dalam makalah ini mencoba mengkaji pendekatan aksiologis dalam pembelajaran bahasa Inggris, dengan menjawab pertanyaan serupa, seperti “nilai-nilai atau etika apakah yang harus dijunjung dalam bahasa?” “bagaimana nilai-nilai/etika itu diterapkan?”
Abdul Chaer (2010: 6) menyebutkan bahwa etika berbahasa berkenaan dengan perilaku atau tingkah laku dalam bertutur, sedangkan kesantunan lebih pada substansi bahasanya. Selanjutnya, dia mengungkapkan teori-teori kesantunan berbahasa yang dikemukakan oleh beberapa tokoh, salah satunya adalah Robin Lakoff. Lakoff menjabarkan tiga kaidah yang harus dipatuhi agar tuturan terdengar santun oleh pendengar atau lawan tutur sekaligus menjadi skala penentu tinggi rendahnya peringkat kesantunan sebuah tuturan. Tiga kaidah tersebut antara lain yakni (1) formalitas (formality), (2) ketidaktegasan (hesitancy), dan (3) kesamaan atau kesekawanan (equality or camaraderie). Bila dijabarkan kaidah pertama itu berarti jangan memaksa atau jangan angkuh (aloof); kaidah yang kedua berarti buatlah sedemikian rupa sehingga lawan tutur atau lawan bicara kita dapat menentukan pilihan; dan kaidah yang ketiga berarti bertindaklah seolah-olah Anda dan lawan tutur Anda menjadi sama atau dengan kata lain ‘buatlah lawan tutur anda merasa senang’. Ringkasnya, tuturan dapat dikatakan santun kalau ia tidak terdengar memaksa atau angkuh, tuturan memberi pilihan tindakan kepada lawan tutur, dan lawan tutur itu menjadi senang.
 Selanjutnya, Brown dan Levinson (Abdul Chaer, 2010: 52-65) yang melihat kesantunan dengan mempertimbangkan faktor-faktor seperti (1) jarak sosial antara penutur dan lawan tutur, (2) besarnya perbedaan kekuasaan atau dominasi di antara keduanya, dan (3) status relatif jenis tindak tutur dalam kebudayaan yang bersangkutan. Mengenai tinggi rendahnya peringkat kesantunan, Brown dan Levinson menetapkan tiga skala di antaranya (1) jarak sosial, (2) status sosial penutur dan lawan tutur, dan (3) tindak tutur.
B.     Aplikasi Filsafat Bahasa dalam Penilain Keterampilan Berbicara Bahasa Inggris.
Setelah mengkaji filsafat bahasa di bagian sebelumnya, maka kita mencoba menariknya kembali kepada permasalahan di kelas Bahasa Inggris di mana ada permasalahan dalam penilaian keterampilan berbicara yang diakibatkan perbedaan atau keberagaman kemampuan siswa. Ketika diterapkan filsafat guna, di mana bahasa bukan hanya serangkaian symbol dan peraturan, melainkan symbol-simbol atau kata tersebut adalah alat komunikasi saja, maka siswa tidak perlu dibebani dengan hafalan kosa-kata yang tidak berkonteks. Dengan memperkenalkan kosa-kata dalam konteks dan tata bahasa berkonteks pembelajaran bahasa Inggris akan lebih bermakna. Pendekatan communicative language teaching (CLT) dalam realisasi filsafat guna dalam filsafat bahasa mampu menjawab tantangan-tantangan pembelajaran bahasa kedua.
Selanjutnya terkait keberagaman siswa dalam kelas Bahasa Inggris, di mana terdapat low performing, average, high performing dan bahkan ABK yang memiliki kecepatan belajar yang berbeda, kita bisa menerapkan paradigma CLT yang disampaikan oleh Jacobs dan Farrell (Richards, 2006: 26). Penerapan atau aplikasi tersebut adalah sebagai berikut:
1.      Penerapan otonomi pembelajaran dengan memberikan pilihan kepada siswa proses pembelajaran. Misalkan, apakah siswa ingin belajar dalam setting kelompok besar/kecil atau individu yang membuat mereka nyaman saat belajar. Kemudian, bagaimana mereka ingin belajar materi tertentu apakah dengan diskusi atau proyek.
2.      Mendorong siswa untuk berkolaborasi agar terasah sifat social pembelajar. Dalam penerapannya, siswa bisa belajar dengan menggunakan kelompok di mana ada berbagai macam model grouping, missal mengelompokkan siswa high performing dalam satu kelompok, anak low performing dalam satu kelompok lainnya sehingga mereka akan memiliki set task atau aktivitas yang berbeda tingkat kesulitan atau kedalaman materinya antar kelompok satu dan lainnya. Alternatif kedua adalah membuat kelompok yang mewakili keberagaman siswa. Dengan cara ini, siswa high performing bisa membantu siswa lainnya yang ada di kelompoknya.
3.      Integrasi bahasa Inggris dengan mata pelajaran lainnya. Sebagai contoh dalam pembelajaran Bahasa Inggris di kelas 9 dengan teks report, bisa berkolaborasi dengan mata pelajaran IPA sehingga siswa mampu memahami teks dengan lebih dalam. Bisa juga dilakukan proyek lintas mata pelajaran pad materi ini, sehingga siswa yang low performing di Bahasa Inggris misalnya, bisa jadi dia adalah siswa yang pintar di IPA akan termotivasi untuk menampilkan lebih.
4.      Fokus pada makna, di mana pembelajaran kosa-kata dan tata bahasa yang diberikan, walaupun pada siswa yang low performing tetaplah context-bounded atau terikat dengan konteks. Sebagai contoh, dalam pembelajaran teks report (yang merupakan teks relative sulit dipelajari karena banyak bahasa ilmiah), siswa akan dituntut membuat teks report mereka sendiri misalnya. High performing students kemungkinan tidak terlalu mengalami kendala berarti terkait tata bahasa dan kosa kata, namun untuk siswa yang kurang bisa diberikan drilling kosa-kata terlebih dahulu. Namun kosa-kata tersebut harus sesuai tema, apabila di dalam teks dibahas tentang hewan yang aktif di malam hari, maka bisa dikenalkan kata seperti nocturnal, bat, prey, dsb. Pengenalannya juga dengan konteks dalam teks yang ada atau bisa dengan gambar agar lebih dipahami.
5.      Memperhatikan keragaman yang ada. Siswa yang beragam baik secara kemampuan maupun social ekonomi perlu diakomodasi semuanya. Sehingga pembelajarab tidak hanya memintarkan si pintar dan mengabaikan yang kurang pintar. Sebuah rancangan task atau kegiatan berjenjang yang terdiri dari beberapa aktivitas bisa dikembangkan. Misalkan, Task 1 untuk aktivitas ringan yang bisa dilakukan oleh seluruh siswa. Apabila siswa selesai di Task 1 maka dia bisa belanjut ke task berikutnya. Sedangkan siswa yang masih belum selesai akan diberikan bimbingan oleh guru. Siswa yang selesai atau mencapai puncak task bisa membantu siswa lainnya. Di sini perbedaan akan menciptakan kolaborasi.
6.      Keterampilan berpikir juga diajarkan sesuai dengan kemampuan siswa.
7.      Berbagai bentuk penilaian (mis., observasi, wawancara, jurnal, portofolio) dapat digunakan. Sebagai contoh, dalam pembelajaran berbicara ungkapan “asking for agreement and disagreement”, maka akan sulit apabila semua siswa dipaksa untuk melakukan debat berbahasa Inggris, berbagai bentuk penilaian dengan misalkan praktik survey kecil, di mana siswa akan menggunakan ungkapan tersebut dalam mencari tahu pendapat/persetujuan siswa tentang hal-hal sehari-hari. Ungkapan sederhana seperti, “Do you agree that TV is not good for students?’ bisa digunakan dalam survey. Atau untuk siswa ABK, mereka mampu menuliskan dialog singkat dengan ungkapan tersebut sudah bisa dinilai sebagai keterampilan menggunakan ekspresi agreement/ disagreement.
8.      Guru sebagai teman belajar yang terus-menerus mencoba berbagai alternative untuk membantu siswa belajar di kelas. Dalam pembelajaran Bahasa Inggris, bahkan guru bisa menjadi partner berbicara mempraktikkan bahasa yang siswa peroleh.
Selain penerapan yang sesuai dengan paradigma yang disampaikan Jacobs dan Farel tersebut, saya mencoba mengusulkan penerapan hal-hal berikut ini untuk mengatasi permasalahan keberagaan siswa dalam penilaian keterampilan berbicara Bahasa Inggris:
1.      Need analysis
Analisa kebutuhan siswa dilakukan di setiap awal semester untuk mengetahui kebutuhan, keinginan, dan kekurangan siswa. Hasil analisis ini selanjutnya dipergunakan untuk pertimbangan pengembangan pembelajaran di kelas selama semester tersebut (input teks, jenis kegiatan pembelajaran, setting pembelajaran, proyek, dsb). Selain itu, informasi terkait apa dan bagaimana penilaian yang siswa inginkan juga bisa digali dalam analisa kebutuhan ini.

2.      Graded Task
Mengembangkan task atau aktivitas-aktivitas pembelajaran yang berjenjang. Task 1 dimulai dengan aktivitas mudah, kemudian naik ke Task 2 lebih sulit dan Task 3,4 dst. Siswa yang masih kurang bisa focus dalam aktivitas di Task 1 dan mendapatkan bimbingan guru di Task 1 untuk siswa berkebutuhan, sedangkan siswa yang cepat bisa berlanjut ke task berikutnya.

3.      Differentiated assessment
Penilaian dengan memperhatikan keberagaman siswa di mana siswa akan dinilai sesuai dengan kemampuannya. Sebagai contoh konkret dalam berbicara “mengungkapkan pendapat” atau “expressing opinion” Siswa high performer bisa kita beri kesempatan dengan penilaian proyek missal membuat proyek wawancara orang asing/ penutur asli Bahasa Inggris tentang pendapatnya mengenai objek wisata di Indonesia lalu divideokan dan diunggah di Youtube.
Siswa menengah (average) bisa kita beri pilihan penilaian dengan membuat video saat mereka mengungkapkan pendapat mereka tentang suatu fenomena/kebijakan di sekolah. Atau bisa juga mereka melakukan suatu survei kecil-kecilan di kelas dengan mempraktikkan ungkapan, “What’s your opinion on/of …?” Selanjutnya low performing bisa diberikan tugas membuat script dialog dan mempraktikkannya di depan kelas.

Ketiga usulan tersebut diharapkan mampu mengatasi permasalahan penilaian keterampilan berbicara di kelas Bahasa Inggris yang siswanya beragam.
Selain proses pembelajaran yang sesuai paradigma CLT, pembelajaran Bahasa Inggris tidak boleh lepas dari kajian aksiologis bahasa yaitu “kesantunan atau politeness”.  Sehingga dalam pembelajaran ungkapan-ungkapan, misalkan ungkapan mengajak/mengundang dimasukkan nilai kesantunan dengan mngajarkan situasi formal dan informal yang berpengaruh pada ungkapan yang berbeda. Contoh, dalam mengajak atau mengundang orang yang dihormati dalam situasi formal, maka ungkapan yang digunakan adalah “Would you like to come to my wedding party, Sir?” Akan memiliki kesantunan lebih dibandingkan dalam situasi yang sama menggunakan ungkapan, “Let’s go to my wedding party, Sir.”







BAB III
PENUTUP

Permasalahan penilaian keterampilan berbicara Bahasa Inggris di kelas yang siswanya beragam bisa diatasi dengan mengkaji filsafat bahasa. Filsafat bahasa perspektif guna yang menyatakan bahasa memiliki berbagai tujuan komunikasi dalam suatu konteks social budaya. Hal ini juga terlihat pada teori pembelajaran bahasa. Pemahaman tentang proses pembelajaran bahasa kedua telah berubah dan berkembanglah pendekatan communicative language teaching yang mencoba mengajarkan keterampilan komunikasi dalam pembelajaran.
Dalam penerapannya, paradigma dalam CLT (Jacobs dan Farell dalam Richards, 2006: 6) ada 8: (1) otonomi pembelajaran, (2) sifat social dari pembelajar, (3) integrasi kurikuler, (4) focus pada makna, (5) keragaman, (6) keterampilan berpikir, (7) penilaian alternative, dan (8) guru sebagai teman belajar. Sedangkan dari kajian ini, 3 alternatif diusulkan untuk mengatasi masalah keberagaman siswa dalam penilaian berbicara Bahasa Inggris, yaitu: (1) need analysis; (2) graded task, dan (3) differentiated assessment.
Kajian nilai bahasa dalam kajian aksiologis bahasa juga penting untuk dimasukkan dalam pembelajaran. Sehingga kajian “kesantunan” atau politeness tetap diajarkan dalam pembelajaran Bahasa Inggris dengan salah satunya pengenalan ungkapan sopan dalam situasi formal dan non formal.




DAFTAR PUSTAKA
Abdul Chaer. 2010. Kesantunan Berbahasa. Jakarta: PT Rineka Cipta.
Brown, H.D. (2007a). Principles of language learning and teaching-5th ed. New York: Pearson Education. 
Brown, H.D. (2007b). Teaching by Principles: an interactive approach to language pedagogy-3rd ed. New York: Pearson Education. 
Cambridge Dictionary. (2019). Laguage. Diakses dari https://dictionary.cambridge.org/ pada tanggal 19 November 2019 jam 09.58
Kumaravadivelu, B. (2006). Understanding language teaching: From method to postmethod. Mahwah, NJ: Lawrence Erlbaum.
Merriam Webster Dictionary. (2019). Language. Diakses dari  https://www.merriam-webster.com// pada tanggal 19 November 2019 jam 10.17.
Richards, J.C. (2006). Communicative  Language Teaching Today. New York: Cambridge University Press
Savignon, S.J. (2000). Communicative language teaching for the twenty first century. Dalam Teaching English as a second or foreign language-3rd ed (editor Celce-Murcia). Boston: Heinle&Heinle Thomson Learning. pp13-28.
Suriasumantri, Jujun S. 2009. Filsafat Ilmu: Sebuah Pengantar Populer. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.
Ufuk Özen Baykent. (2016). An introductory course to philosophy of language. New Castle: Cambridge Scholars Publishing.
 Zegarac, V. (1998). 'What is phatic communication?', in V. Rouchota and A. Jucker (eds) Current Issues in Relevance Theory, Amsterdam: John Benjamins. Pp 348-352.

*) Postingan ini adalah bagian dari tugas akhir Mata Kuliah Filsafat Penelitian dan Evaluasi Pendidikan pada Semester 1 Prodi S3 Penelitian dan Evaluasi Pendidikan tahun 2019 yang diampu oleh Prof. Dr. Marsigit, MA

Perjuangan 5 Besar: Calon Duta Teknologi DIY 2024

  Halo Educators Hebad,  Maafkan saya yang lama tidak menyapa. Beberapa hari ini alhamdulillah kembali bergulat dengan waktu dan sat set men...