Marsigit Philosophy Class 2019 Assignment
Kajian Fillsafat Bahasa dalam Permasalahan Penilaian Berbicara Bahasa Inggris
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Berbicara/speaking merupakan salah satu
keterampilan yang diajarkan kepada siswa dalam pembelajaran Bahasa Inggris.
Keterampilan ini adalah salah satu dari keterampilan produktif bahasa yang
terdiri dari menulis/writing dan berbicara/speaking. Berdasarkan
pengalaman saya mengajar Bahasa Inggris di sebuah SMP di Gunungkidul sejak
2010, berbicara adalah salah satu keterampilan yang paling menantang untuk
diajarkan di kelas. Dalam proses pembelajaran, tidak semua siswa mampu
menunjukkan keterampilan berbicara dengan mudah setelah belajar Bahasa Inggris
misalkan ungkapan tertentu. Berdasarkan pengamatan dan pengalaman mengajar saya
selama hampir 10 tahun, berbagai faktor, baik kognitif maupun afektif
mempengaruhi keterampilan siswa tersebut. Dalam sisi afektif, sikap siswa yang
masih malu-malu dan kurang percaya diri mempraktikkan Bahasa Inggris yang dia
peroleh menjadi salah satu penghambat siswa untuk bisa praktik berbicara dengan
lancar. Sedangkan dalam sisi kognisi, pengetahun bahasa siswa yang masih kurang
dari sisi vocabulary atau kosa kata dan tata bahasa serta pronunciation
disinyalir sebagai penyebab kurangnya siswa terampil berbicara dalam Bahasa
Inggris.
Berbagai cara telah dilakukan untuk membantu siswa
“berbicara”. Cara-cara seperti drilling, games, proyek, dan berbagai
praktik lainnya telah dicoba di kelas baik dalam pembelajaran maupun dalam
penilaian siswa. Dari sisi penilaian yang dilakukan, didapatkan hasil yang
tidak memuaskan untuk semua siswa. Hal ini menunjukkan tidak setiap teknik
ataupun metode mampu mengakomodasi semua siswa dan dianggap baik untuk setiap
siswa. Masih ada beberapa siswa yang mengalami permasalahan dalam pembelajaran.
Hal ini sejalan dengan teori postmethod era yang menyatakan bahawa “no single approach or method is best suited for all teaching contexts” (Kumaravadivelu,
2006; Brown, 2007b).
Ditelusuri lebih lanjut, siswa yang ada di kelas
tidak memiliki kemampuan yang sama, ada siswa yang high performing atau
tergolong sangat cakap, average atau siswa menengah, dan ada siswa yang
kurang atau low performing, bahkan ada pula siswa dengan kebutuhan
khusus atau ABK. Keberagaman yang ada ini sering terabaikan baik dalam proses pembelajaran
dan pengabaian ini berlanjut pada penilain. Dalam proses pembelajaran, semua
siswa diajar dengan model yang sama dan diharapkan akan memiliki pace of
learning atau kecepatan belajar yang sama. Dari pembelajaran yang sama ini, beberapa
siswa mungkin merasakan ketidaknyamanan atau ketertinggalan yang berakibat
kurang maksimal dalam pembelajaran.
Selanjutnya, dalam penilaian keberagaman antar siswa
juga sering diabaikan. Siswa diperlakukan secara sama sehingga mereka
mendapatkan penilaian dengan system yang sama dengan standar tertentu. Sebagai
contoh dalam penilaian berbicara di kelas Bahasa Inggris, semua siswa dinilai
agar bisa mendeskripsikan tokoh terkenal melalui presentasi. Siswa dengan high
performing, akan merasa tertantang dan mempresentasikan tokoh yang
dideskripsikan dengan bahasa yang detail dengan lancar dan pelafalan serta
intonasi seperti penutur asli.
Siswa yang berada pada rata-rata, kemungkinan bisa
mempresentasikan tokoh tersebut dengan bahasa yang tepat dan penyampaian yang
sederhana. Sedangkan permasalahan akan muncul pada siswa low performing,
mereka bisa saja masih mengalami untuk mempresentasikan tokoh tersebut.
Beberapa kesulitan terkait unsur kebahasaan dasar seperti kosa-kata yang harus
digunakan dalam mendeskripsikan. Mereka masih perlu exposure atau
pajanan kata sifat seperti misal inspiring, awesome, gorgeous, dsb. Hal
ini membuktikan permasalahan pembelajaran Bahasa Inggris khususnya terkait
keterampilan berbicara masih perlu untuk terus dikaji dan dipecahkan.
Untuk mencari solusi dalam memecahkan permasalahan
dalam pembelajaran berbicara tersebut, dua hal akan dikaji lebih dalam dalam
makalah ini, yakni “berbicara atau speaking” dan “keberagaman atau difference”.
Kedua permasalahan tersebut akan dikaji
dengan mencoba memahami konsep “berbicara” yang merupakan bagian tak
terpisahkan dalam suatu bahasa, sehingga kemudian perlu dikaji lebih mendalam
filsafat bahasa atau philosophy of language. Dalam kajian filsafat
bahasa ini, kemudian akan dijabarkan ontologis, epistimologis, dan aksiologis
bahasa yang kemudian dipergunakan untuk landasan mencari pemecahan masalah
untuk permasalahan “berbicara” dan “keberagaman siswa” yang sudah disampaikan
di latar belakang ini.
B.
Rumusan Masalah
Dari latar belakang di atas, maka permasalahan yang
akan dikaji dalam makalah ini dirumuskan sebagai berikut:
1.
Apakah filsafat bahasa: kajian ontologis,
epistimologis, dan aksiologis bahasa?
2.
Bagaimana menerapkan kajian filsafat bahasa dalam
penilaian keterampilan berbicara Bahasa Inggris di kelas?
C.
Tujuan Kajian
Adapun tujuan dari makalah ini adalah menjawab
pertanyaan yang ada di rumusan masalah di atas. Sehingga, tujuan kajian ini
adalah:
1.
Mengkaji filsafat bahasa: kajian ontologis,
epistimologis, dan aksiologis bahasa.
2.
Mengkaji penerapan filsafat bahasa dalam penilain
keterampilan berbicara Bahasa Inggris.
D.
Manfaat Kajian
Kajian ini diharapkan memberikan manfaat, baik
secara teoretis maupun praktis. Secara teoritis, kajian ini diharapkan bisa
memberikan pengetahuan lebih mendalam tentang filsafat bahasa dan
kebermanfaatannya dalam pembelajaran Bahasa Inggris, khususnya penilaian
keterampilan berbicara.
Sedangkan secara praktis, kajian ini diharapkan bisa
memberikan manfaat kepada beberapa kelompok berikut:
1. Guru
Bahaasa Inggris SMP
2.
Siswa SMP
Dengan pemahaman guru tentang penilaian keterampilan
berbicara yang berlandaskan pada filosofis bahasa diharapkan setiap siswa akan
mendapatkan keadilan dalam penilaian di kelasnya, khususnya dalam penilaian
keterampilan berbicara.
3. Pengkaji/peneliti
lain
Makalah ini diharapkan memberikan ide penelitian
untuk peneliti/pengkaji berikutnya.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Filsafat Bahasa
Filsafat bahasa adalah bidang yang luar biasa kaya. Filsafat
ini memiliki sejarah panjang. Zegarac,
V. (1998) menyampaikan dua filsafat bahasa di masa Anglo-Saxon akan dibahas di
sini adalah Perspektif sistem (system perspective) dan perspektif
guna (Use perspective). Perspektif sistem memiliki paham bahwa “a language as a collection of formal
rules: rules which are so simple as to require no insight to apply them.” Bahasa adalah serangkaian peraturan
formal yang sederhana dan tidak memerlukan wawasan untuk
mengaplikasikannya/menggunakannya. Paham filsafat ini focus pada dua hal, yaitu
sintaks dan semantics. Sedangkan Perspektif guna lebih memfokuskan pada apa
yang dilakukan manusia dengan bahasa. “a language is a sociocultural
practice. It emphasizes what we do with language.” Dalam perspektif guna,
bahasa lebih merupakan suatu praktik budaya dan social, sehingga bahasa bukan
hanya digunakan untuk mendeskripsikan dunia (seperti yang tersirat dalam
perspektif sistem), melainkan bisa digunakan untuk berbagai macam tujuan.
Menurut filsafat perspektif guna, item
linguistik' menurut Perspektif guna adalah tindak tutur - token linguistik,
bukan tipe. Sama seperti Perspektif Sistem memiliki pandangan terkait tentang
apa artinya, Perspektif guna juga memilikinya. Namun, dalam perspektif guna, kata-kata
adalah alat. Dan maknanya, alih-alih menjadi objek abstrak seperti fungsi matematis
dan set dunia yang mungkin, melainkan tindakan yang manusia lakukan secara
linguistik. Misalnya, arti 'Halo' bukanlah entitas kuasi-matematika yang
relevan dengan kebenaran. Melainkan, untuk memberi arti 'Halo', cukup
mengatakan: 'Seseorang menggunakan kata ini untuk menyapa orang.
Dari
kajian kedua filsafat bahasa tersebut, makalah ini akan mencoba menjabarkan
bahasa secara ontologis, epistimologis, dan aksiologis.
1. Hakikat Bahasa: kajian ontologis
Hakikat bahasa sangat luas untuk diterjemahkan atau
dijelaskan dengan suatu ungkapan yang singkat. Ada banyak definisi terkait
bahasa itu sendiri. Definisi yang pertama dari Cambridge Dictionary (https://dictionary.cambridge.org/, 2019) mendefinisikan bahasa dalam
beberapa definisi. Salah satunya adalah “a system of communication by speaking, writing, or making signs in a way that can be understood, or any of the different systems of communication used in particular regions:” Definisi pertama ini menyatakan
bahasa sebagai suatu sistem komunikasi melalui berbicara, menulis, atau
membuat tanda yang bisa dipahami atau system komunikasi lainnya yang digunakan
di area tertentu.” Dalam definisi ini ada unsur bahasa sebagai system
komunikasi dan caranya dengan berbicara atau menulis, serta alatnya adalah
tanda.
Sedangkan
Merriam Webster Dictionary (https://www.merriam-webster.com/, 2019)
mendefinisikan bahasa sebagai “a systematic means of communicating ideas or feelings by the use of
conventionalized signs, sounds, gestures, or marks having understood meanings”
Artinya adalah alat/sarana sistematis untuk mengkomunikasikan ide atau perasaan
dengan menggunakan tanda, suara, gerakan, atau tanda bermakna yang sudah
konvensional. Dari definisi ini ada beberapa unsur yang termasuk dalam bahasa,
antara lain: sistemik, alat mengkomunikasikan ide atau perasaan, symbol, suara,
gerakan, dan tanda yang telah konvensional atau lazim dan diketahui orang.
Definisi
serupa mengatahan bahasa sebagai bentuk perwakilan symbol-simbol “languages
are forms of symbolic representations. Certain meanings are represented through
the use of symbols”. Bahasa juga didefinisikan sebagai suatu alat
untuk menyampaikan ide, perasaan, dan keinginan. Selain itu, bahasa juga adalah
sistem kesatuan elemen terkait satu sama lain dalam satu atau lain cara.
Definisi lainnya, bahasa adalah sistem yang arbitrer berdasarkan sosial konvensi
dan merupakan jumlah kiasan yang terikat dengan bunyi yang tidak disengaja
dalam satu kesatuan bunyi dan makna (Ufuk Özen Baykent, 2016: 5).
Dari definisi bahasa yang disampaikan berbagai sumber, Brown (2007a: 6),
menghasilkan definisi gabungan sebagai berikut:
1. Language is systemic.
2. Language is a set of arbitrary symbols.
3. Those symbols are primarily vocal but may also be
visual.
4. The symbols have conventionalized meaning to which
they refer.
5. Language is used for communication.
6. Language operates in a speech community or culture.
7. Language is essential to human, although possibility
not limited to humans.
8. Language is acquired by all people in much the same
way; language and language learning both have universal characteristics.
Dari
definisi tersebut bisa disimpulkan bahwa “Bahasa adalah suatu system symbol
yang arbriter baik berisi suara maupun gambar yang telah memiliki arti secara
konvensional dan digunakan untuk komunikasi dalam sebuah komunitas atau budaya
oleh orang-orang”.
2. Pendekatan Bahasa: kajian
epistimologis
Epistemologi
ilmu adalah proses yang dilalui untuk membuktikan pengetahuan ilmiah, maka epistemologi
bahasa merupakan proses, hal-hal yang perlu diperhatikan, dan cara untuk
mendapatkan ilmu bahasa. Suriasumantri (2009: 105) mengatakan bahwa cara kita menyusun
pengetahuan yang benar dalam filsafati disebut epistemologi. Oleh karena itu,
epistemologi bahasa dapat pula diartikan sebagai ilmu dalam pemerolehan bahasa
dan pendidikan bahasa.
Ada beberapa
ilmu dalam memperoleh bahasa, yang pertama terkait dalam bahasan language
acquisition atau pemerolehan bahasa secara alamiah yang biasanya dihubungkan
dengan pemerolehan bahasa pertama atau bahasa ibu. Sedangkan yang kedua adalah language
learning atau pembelajaran bahasa yang dilakukan secara sadar dan biasanya terminologi
ini digunakan dalam pembelajaran bahasa kedua atau bahasa asing. Bahasa Inggris
sendiri di Indonesia merupakan bahasa asing, sehingga ilmu pemerolehan bahasa
yang perlu diperdalam dalam pembelajaran di kelas lebih condong kepada penggunaan
ilmu language learning.
Pembelajaran
bahasa apabila dikaitkan dengan filsafat bahasa mengalami perkembangan sesuai
dengan perkembangan filsafat bahasa tersebut. Dalam pendekatan perspektif guna,
di mana bahasa dikenal dengan penggunaan bahasa dengan berbagai tujuan komunikasi
dalam suatu konteks social budaya, maka konteks social budaya siswa menjadi
pertimbangan dalam pembelajaran bahasa. Hal ini juga terlihat pada teori
pembelajaran bahasa. Pemahaman tentang proses pembelajaran bahasa kedua telah
berubah dalam 40 tahun terakhir dan Pendekatan communicative language teaching
yang akan kita singkat dengan CLT pada makalah ini merupakan respons
terhadap perubahan ini. Sebelumnya, dalam pengertian pandangan awal
pembelajaran bahasa difokuskan terutama pada penguasaan kompetensi gramatikal.
Pembelajaran bahasa dipandang sebagai suatu proses pembentukan kebiasaan
mekanik. Kebiasaan baik terbentuk dengan memiliki siswa menghasilkan kalimat
yang benar dan tidak melalui membuat kesalahan. Kesalahan adalah untuk dihindari
melalui peluang terkendali untuk produksi (baik tertulis atau lisan). Dengan
menghafal dialog dan melakukan latihan, peluang membuat kesalahan diminimalkan.
Belajar sangat dilihat di bawah kendali guru (Richards, 2006: 3).
Namun
dalam CLT, tujuan pembelajaran bahasa bukan lagi sebatas kemampuan grammatical dengan
menghapal dialog. CLT bertujuan untuk mengajarkan kompetensi komunikasi
(Savignon, 2001; Richards, 2006). Savignon selanjutnya menyampaikan 4 komponen
dalam kompetensi komunikatif, yaitu: (1) social budaya, (2) strategi, (3)
discourse, dan (4) grammatical.
Terkait kompetensi
komunikasi tersebut, Richards (2006: 3) menjelaskan bahwa kompetensi
komunikatif mencakup aspek-aspek pengetahuan bahasa berikut ini:
1)
Mengetahui
cara menggunakan bahasa untuk berbagai tujuan dan fungsi yang berbeda.
2)
Mengetahui
cara memvariasikan penggunaan bahasa sesuai dengan tempat dan dan lawan bicara
(mis., tahu kapan harus menggunakan formal dan pidato informal atau kapan harus
menggunakan bahasa dengan tepat untuk menulis sebagai lawan dari komunikasi
lisan).
3)
Mengetahui
cara menghasilkan dan memahami berbagai jenis teks (mis., narasi, laporan,
wawancara, percakapan).
4)
Mengetahui
cara menjaga komunikasi meskipun sudah keterbatasan dalam pengetahuan bahasa
seseorang (mis., melalui penggunaan berbagai jenis strategi komunikasi)
Untuk
mencapai kompetensi tersebut, Richards (2006: 4) menyampaikan bahwa pembelajaran
bahasa merupakan proses seperti:
1)
Interaksi
antara pelajar dan pengguna bahasa.
2)
Penciptaan
makna secara kolaboratif.
3)
Menciptakan
interaksi yang bermakna dan terarah melalui bahasa.
4)
Negosiasi
makna sebagai pelajar dan lawan bicaranya sampai pada pemahaman.
5)
Belajar
melalui memperhatikan umpan balik yang didapat peserta saat mereka menggunakan
bahasanya.
6)
Memperhatikan
bahasa yang didengar (input) dan berusaha untuk memasukkan tata bahasa baru ke
dalam kompetensi komunikatif yang sedang berkembang.
7)
Mencoba
dan bereksperimen dengan berbagai cara untuk mengatakan sesuatu.
1. Otonomi Pembelajar:
Memberi siswa pilihan yang lebih
besar daripada mereka belajar sendiri, baik dari segi isi pembelajaran juga sebagai
proses yang mungkin mereka gunakan. Penggunaan kelompok kecil adalah satu contoh
dari otonomi ini, serta penggunaan penilaian diri.
2. Sifat sosial dari pembelajaran:
Belajar bukanlah individu, aktivitas
pribadi, tetapi kegiatan sosial yang tergantung pada interaksi dengan orang
lain. gerakan yang dikenal sebagai pembelajaran kooperatif mencerminkan sudut
pandang ini.
3. Integrasi kurikuler:
Koneksi antar berbeda untaian
kurikulum ditekankan, sehingga bahasa Inggris tidak dilihat sebagai subjek yang
berdiri sendiri tetapi terkait dengan subjek lain dalam kurikulum. Pembelajaran
berbasis teks mencerminkan pendekatan ini, dan berupaya mengembangkan kefasihan
dalam jenis teks yang dapat digunakan secara keseluruhan kurikulum. Pekerjaan
proyek dalam pengajaran bahasa juga membutuhkan siswa untuk mengeksplorasi
masalah di luar kelas bahasa.
4. Fokus pada makna:
Makna dipandang sebagai kekuatan
pendorong belajar. Pengajaran berbasis konten mencerminkan pandangan ini dan
berusaha untuk jadikan eksplorasi makna melalui konten sebagai inti kegiatan
pembelajaran bahasa.
5. Keragaman:
Peserta didik belajar dengan cara
yang berbeda dan berbeda kekuatan. Pengajaran perlu mempertimbangkan keberagaman-keberagaman
ini daripada mencoba memaksa siswa menjadi satu cetakan. Dalam bahasa mengajar,
ini telah menyebabkan penekanan pada pengembangan penggunaan siswa dan
kesadaran akan strategi pembelajaran.
6. Keterampilan Berpikir:
Bahasa harus berfungsi sebagai sarana
untuk berkembang keterampilan berpikir tingkat tinggi, juga dikenal sebagai
kritis dan kreatif berpikir. Dalam pengajaran bahasa, ini berarti bahwa siswa
tidak belajar bahasa untuk kepentingannya sendiri tetapi untuk mengembangkan
dan menerapkan keterampilan berpikir mereka dalam situasi yang melampaui bahasa
kelas.
7. Penilaian alternatif:
Diperlukan bentuk penilaian baru untuk
mengganti pilihan ganda tradisional dan item lain yang uji keterampilan tingkat
rendah. Berbagai bentuk penilaian (mis., observasi, wawancara, jurnal,
portofolio) dapat digunakan untuk membangun gambaran komprehensif tentang apa
yang dapat dilakukan siswa dalam sedetik bahasa.
8. Guru sebagai teman belajar:
Guru dipandang sebagai fasilitator yang
terus-menerus mencoba berbagai alternatif, mis., belajar melalui melakukan.
Dalam pengajaran bahasa, ini telah menyebabkan minat penelitian tindakan dan bentuk
lain dari penyelidikan kelas
Proses dan
paradigma tersebut bisa diterapkan dalam pembelajaran bahasa Inggris di kelas
dengan pendekatan CLT yang saat ini dikelompokkan dalam empat metode (Richards,
2006). Keempat metode tersebut adalah: (1) communicative language teaching,
(2) task-based language teaching, (3) content-based instructions, dan (4) genre-based
approach (Baca: Communicative Language Teaching Today dalam
Richards, 2006 untuk lebih mendalami keempat metode tersebut).
3. Pendekatan Aksiologis Bahasa
Selanjutnya,
setelah mengaji ontology dan epistimologi bahasa, aksiologis bahasa perlu juga
dipahami dalam memahami pembelajaran bahasa. Pendekatan aksiologis mempelajari secara
filosofis hakekat nilai atau value. Suriasumantri
(2009: 33) mengatakan bahwa aksiologi dalam filsafat ilmu terkait dengan
pertanyaan-pertanyaan seperti (1) untuk apa pengetahuan berupa ilmu itu
dipergunakan?; (2) bagaimana kaitan antara cara penggunaan tersebut dengan
kaidah-kaidah moral?; (3) bagaimana penentuan obyek yang ditelaah berdasarkan
pilihan-pilihan moral?; dan (4) bagaimana kaitan antara teknik procedural yang
merupakan operasionalisasi metode ilmiah dengan norma-norma moral/profesional?
Sedangkan Marsigit (2004) mengkaji penerapan filsafat dalam pembelajaran Matematika, pendekatan
aksiologis dalam pembelajaran matematika menjawab pertanyaan seperti “Apakah matematika
sebagai kenyataan yang bernilai atau yang diberi nilai? Apakah nilai dari kenyataan
matematika bersifat intrinsik, ekstrinsik atau sistemik? Apakah nilai
matematika bersifat pragmatis atau semantik?” Dalam makalah ini mencoba
mengkaji pendekatan aksiologis dalam pembelajaran bahasa Inggris, dengan
menjawab pertanyaan serupa, seperti “nilai-nilai atau etika apakah yang harus
dijunjung dalam bahasa?” “bagaimana nilai-nilai/etika itu diterapkan?”
Abdul Chaer (2010: 6) menyebutkan
bahwa etika berbahasa berkenaan dengan perilaku atau tingkah laku dalam
bertutur, sedangkan kesantunan lebih pada substansi bahasanya. Selanjutnya, dia
mengungkapkan teori-teori kesantunan berbahasa yang dikemukakan oleh beberapa
tokoh, salah satunya adalah Robin Lakoff. Lakoff menjabarkan tiga kaidah yang
harus dipatuhi agar tuturan terdengar santun oleh pendengar atau lawan tutur
sekaligus menjadi skala penentu tinggi rendahnya peringkat kesantunan sebuah
tuturan. Tiga kaidah tersebut antara lain yakni (1) formalitas (formality),
(2) ketidaktegasan (hesitancy), dan (3) kesamaan atau kesekawanan (equality
or camaraderie). Bila dijabarkan kaidah pertama itu berarti jangan memaksa
atau jangan angkuh (aloof); kaidah yang kedua berarti buatlah
sedemikian rupa sehingga lawan tutur atau lawan bicara kita dapat menentukan
pilihan; dan kaidah yang ketiga berarti bertindaklah seolah-olah Anda dan lawan
tutur Anda menjadi sama atau dengan kata lain ‘buatlah lawan tutur anda merasa
senang’. Ringkasnya, tuturan dapat dikatakan santun kalau ia tidak terdengar
memaksa atau angkuh, tuturan memberi pilihan tindakan kepada lawan tutur, dan
lawan tutur itu menjadi senang.
Selanjutnya, Brown
dan Levinson (Abdul Chaer, 2010: 52-65) yang melihat kesantunan dengan
mempertimbangkan faktor-faktor seperti (1) jarak sosial antara penutur dan
lawan tutur, (2) besarnya perbedaan kekuasaan atau dominasi di antara keduanya,
dan (3) status relatif jenis tindak tutur dalam kebudayaan yang bersangkutan.
Mengenai tinggi rendahnya peringkat kesantunan, Brown dan Levinson menetapkan
tiga skala di antaranya (1) jarak sosial, (2) status sosial penutur dan lawan
tutur, dan (3) tindak tutur.
B.
Aplikasi Filsafat Bahasa dalam Penilain
Keterampilan Berbicara Bahasa Inggris.
Setelah mengkaji filsafat bahasa di bagian
sebelumnya, maka kita mencoba menariknya kembali kepada permasalahan di kelas
Bahasa Inggris di mana ada permasalahan dalam penilaian keterampilan berbicara yang
diakibatkan perbedaan atau keberagaman kemampuan siswa. Ketika diterapkan
filsafat guna, di mana bahasa bukan hanya serangkaian symbol dan peraturan,
melainkan symbol-simbol atau kata tersebut adalah alat komunikasi saja, maka
siswa tidak perlu dibebani dengan hafalan kosa-kata yang tidak berkonteks. Dengan
memperkenalkan kosa-kata dalam konteks dan tata bahasa berkonteks pembelajaran
bahasa Inggris akan lebih bermakna. Pendekatan communicative language teaching
(CLT) dalam realisasi filsafat guna dalam filsafat bahasa mampu
menjawab tantangan-tantangan pembelajaran bahasa kedua.
Selanjutnya terkait keberagaman siswa dalam kelas Bahasa
Inggris, di mana terdapat low performing, average, high performing dan
bahkan ABK yang memiliki kecepatan belajar yang berbeda, kita bisa menerapkan
paradigma CLT yang disampaikan oleh Jacobs dan Farrell (Richards, 2006: 26). Penerapan atau
aplikasi tersebut adalah sebagai berikut:
1.
Penerapan otonomi pembelajaran dengan memberikan pilihan kepada siswa proses
pembelajaran. Misalkan, apakah siswa ingin belajar dalam setting kelompok
besar/kecil atau individu yang membuat mereka nyaman saat belajar. Kemudian,
bagaimana mereka ingin belajar materi tertentu apakah dengan diskusi atau
proyek.
2.
Mendorong siswa untuk berkolaborasi agar terasah sifat
social pembelajar. Dalam penerapannya, siswa bisa belajar dengan menggunakan
kelompok di mana ada berbagai macam model grouping, missal mengelompokkan
siswa high performing dalam satu kelompok, anak low performing
dalam satu kelompok lainnya sehingga mereka akan memiliki set task atau
aktivitas yang berbeda tingkat kesulitan atau kedalaman materinya antar
kelompok satu dan lainnya. Alternatif kedua adalah membuat kelompok yang
mewakili keberagaman siswa. Dengan cara ini, siswa high performing bisa
membantu siswa lainnya yang ada di kelompoknya.
3.
Integrasi bahasa Inggris dengan mata pelajaran
lainnya. Sebagai contoh dalam pembelajaran Bahasa Inggris di kelas 9 dengan teks
report, bisa berkolaborasi dengan mata pelajaran IPA sehingga siswa mampu
memahami teks dengan lebih dalam. Bisa juga dilakukan proyek lintas mata
pelajaran pad materi ini, sehingga siswa yang low performing di Bahasa
Inggris misalnya, bisa jadi dia adalah siswa yang pintar di IPA akan termotivasi
untuk menampilkan lebih.
4.
Fokus pada makna, di mana pembelajaran kosa-kata dan
tata bahasa yang diberikan, walaupun pada siswa yang low performing tetaplah
context-bounded atau terikat dengan konteks. Sebagai contoh, dalam
pembelajaran teks report (yang merupakan teks relative sulit dipelajari karena
banyak bahasa ilmiah), siswa akan dituntut membuat teks report mereka sendiri
misalnya. High performing students kemungkinan tidak terlalu mengalami kendala
berarti terkait tata bahasa dan kosa kata, namun untuk siswa yang kurang bisa
diberikan drilling kosa-kata terlebih dahulu. Namun kosa-kata tersebut
harus sesuai tema, apabila di dalam teks dibahas tentang hewan yang aktif di
malam hari, maka bisa dikenalkan kata seperti nocturnal, bat, prey, dsb.
Pengenalannya juga dengan konteks dalam teks yang ada atau bisa dengan gambar
agar lebih dipahami.
5.
Memperhatikan keragaman yang ada. Siswa yang beragam
baik secara kemampuan maupun social ekonomi perlu diakomodasi semuanya. Sehingga
pembelajarab tidak hanya memintarkan si pintar dan mengabaikan yang kurang
pintar. Sebuah rancangan task atau kegiatan berjenjang yang terdiri dari beberapa
aktivitas bisa dikembangkan. Misalkan, Task 1 untuk aktivitas ringan yang bisa
dilakukan oleh seluruh siswa. Apabila siswa selesai di Task 1 maka dia bisa
belanjut ke task berikutnya. Sedangkan siswa yang masih belum selesai akan
diberikan bimbingan oleh guru. Siswa yang selesai atau mencapai puncak task bisa
membantu siswa lainnya. Di sini perbedaan akan menciptakan kolaborasi.
6.
Keterampilan berpikir juga diajarkan sesuai dengan kemampuan
siswa.
7.
Berbagai
bentuk penilaian (mis., observasi, wawancara, jurnal, portofolio) dapat
digunakan. Sebagai contoh, dalam pembelajaran berbicara ungkapan “asking for agreement
and disagreement”, maka akan sulit apabila semua siswa dipaksa untuk melakukan debat
berbahasa Inggris, berbagai bentuk penilaian dengan misalkan praktik survey kecil, di mana siswa akan menggunakan
ungkapan tersebut dalam mencari tahu pendapat/persetujuan siswa tentang hal-hal
sehari-hari. Ungkapan sederhana seperti, “Do you agree that TV is not good for
students?’ bisa digunakan dalam survey. Atau untuk siswa ABK, mereka mampu
menuliskan dialog singkat dengan ungkapan tersebut sudah bisa dinilai sebagai
keterampilan menggunakan ekspresi agreement/ disagreement.
8.
Guru sebagai teman belajar yang terus-menerus mencoba berbagai alternative
untuk membantu siswa belajar di kelas. Dalam pembelajaran Bahasa Inggris,
bahkan guru bisa menjadi partner berbicara mempraktikkan bahasa yang siswa
peroleh.
Selain
penerapan yang sesuai dengan paradigma yang disampaikan Jacobs dan Farel tersebut,
saya mencoba mengusulkan penerapan hal-hal berikut ini untuk mengatasi permasalahan
keberagaan siswa dalam penilaian keterampilan berbicara Bahasa Inggris:
1.
Need analysis
Analisa kebutuhan siswa dilakukan di setiap
awal semester untuk mengetahui kebutuhan, keinginan, dan kekurangan siswa. Hasil
analisis ini selanjutnya dipergunakan untuk pertimbangan pengembangan
pembelajaran di kelas selama semester tersebut (input teks, jenis kegiatan
pembelajaran, setting pembelajaran, proyek, dsb). Selain itu, informasi terkait
apa dan bagaimana penilaian yang siswa inginkan juga bisa digali dalam analisa kebutuhan
ini.
2.
Graded Task
Mengembangkan task atau aktivitas-aktivitas
pembelajaran yang berjenjang. Task 1 dimulai dengan aktivitas mudah, kemudian
naik ke Task 2 lebih sulit dan Task 3,4 dst. Siswa yang masih kurang bisa focus
dalam aktivitas di Task 1 dan mendapatkan bimbingan guru di Task 1 untuk siswa
berkebutuhan, sedangkan siswa yang cepat bisa berlanjut ke task berikutnya.
3.
Differentiated assessment
Penilaian dengan memperhatikan keberagaman
siswa di mana siswa akan dinilai sesuai dengan kemampuannya. Sebagai contoh konkret
dalam berbicara “mengungkapkan pendapat” atau “expressing opinion” Siswa
high performer
bisa kita beri kesempatan dengan penilaian proyek missal membuat proyek
wawancara orang asing/ penutur asli Bahasa Inggris tentang pendapatnya mengenai
objek wisata di Indonesia lalu divideokan dan diunggah di Youtube.
Siswa menengah (average) bisa kita beri pilihan penilaian
dengan membuat video saat mereka mengungkapkan pendapat mereka tentang suatu
fenomena/kebijakan di sekolah. Atau bisa juga mereka melakukan suatu survei
kecil-kecilan di kelas dengan mempraktikkan ungkapan, “What’s your opinion on/of
…?” Selanjutnya low performing bisa diberikan tugas membuat script
dialog dan mempraktikkannya di depan kelas.
Ketiga usulan
tersebut diharapkan mampu mengatasi permasalahan penilaian keterampilan
berbicara di kelas Bahasa Inggris yang siswanya beragam.
Selain proses pembelajaran yang sesuai paradigma CLT, pembelajaran
Bahasa Inggris tidak boleh lepas dari kajian aksiologis bahasa yaitu “kesantunan
atau politeness”. Sehingga dalam
pembelajaran ungkapan-ungkapan, misalkan ungkapan mengajak/mengundang
dimasukkan nilai kesantunan dengan mngajarkan situasi formal dan informal yang
berpengaruh pada ungkapan yang berbeda. Contoh, dalam mengajak atau mengundang
orang yang dihormati dalam situasi formal, maka ungkapan yang digunakan adalah “Would
you like to come to my wedding party, Sir?” Akan memiliki kesantunan lebih
dibandingkan dalam situasi yang sama menggunakan ungkapan, “Let’s go to my
wedding party, Sir.”
BAB III
PENUTUP
Permasalahan penilaian keterampilan berbicara Bahasa
Inggris di kelas yang siswanya beragam bisa diatasi dengan mengkaji filsafat
bahasa. Filsafat bahasa perspektif guna yang menyatakan bahasa memiliki berbagai tujuan komunikasi dalam
suatu konteks social budaya. Hal ini juga terlihat pada teori pembelajaran
bahasa. Pemahaman tentang proses pembelajaran bahasa kedua telah berubah dan berkembanglah
pendekatan communicative language teaching yang mencoba mengajarkan keterampilan
komunikasi dalam pembelajaran.
Dalam
penerapannya, paradigma dalam CLT (Jacobs dan Farell dalam Richards, 2006: 6)
ada 8: (1) otonomi pembelajaran, (2) sifat social dari pembelajar, (3) integrasi
kurikuler, (4) focus pada makna, (5) keragaman, (6) keterampilan berpikir, (7) penilaian
alternative, dan (8) guru sebagai teman belajar. Sedangkan dari kajian ini, 3
alternatif diusulkan untuk mengatasi masalah keberagaman siswa dalam penilaian
berbicara Bahasa Inggris, yaitu: (1) need analysis; (2) graded task, dan (3)
differentiated assessment.
Kajian nilai
bahasa dalam kajian aksiologis bahasa juga penting untuk dimasukkan dalam
pembelajaran. Sehingga kajian “kesantunan” atau politeness tetap diajarkan dalam
pembelajaran Bahasa Inggris dengan salah satunya pengenalan ungkapan sopan
dalam situasi formal dan non formal.
DAFTAR PUSTAKA
Abdul Chaer. 2010. Kesantunan
Berbahasa. Jakarta: PT Rineka Cipta.
Brown, H.D. (2007a). Principles
of language learning and teaching-5th ed. New York: Pearson
Education.
Brown, H.D. (2007b). Teaching
by Principles: an interactive approach to language pedagogy-3rd ed. New
York: Pearson Education.
Kumaravadivelu, B.
(2006). Understanding language teaching: From method to postmethod. Mahwah, NJ:
Lawrence Erlbaum.
Richards, J.C. (2006). Communicative Language Teaching Today. New York: Cambridge
University Press
Savignon, S.J. (2000).
Communicative language teaching for the twenty first century. Dalam Teaching
English as a second or foreign language-3rd ed (editor Celce-Murcia).
Boston: Heinle&Heinle Thomson Learning. pp13-28.
Suriasumantri, Jujun S.
2009. Filsafat Ilmu: Sebuah Pengantar Populer. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.
Ufuk Özen Baykent. (2016). An introductory course to philosophy of
language. New Castle: Cambridge Scholars Publishing.
Zegarac, V.
(1998). 'What is phatic communication?', in V. Rouchota and A. Jucker (eds) Current
Issues in Relevance Theory, Amsterdam: John Benjamins. Pp 348-352.
*) Postingan ini adalah bagian dari tugas akhir Mata Kuliah Filsafat Penelitian dan Evaluasi Pendidikan pada Semester 1 Prodi S3 Penelitian dan Evaluasi Pendidikan tahun 2019 yang diampu oleh Prof. Dr. Marsigit, MA