Thursday, November 21, 2019

Marsigit Philosophy Class 2019 Assignment Kajian Filsafat Bahasa

Marsigit Philosophy Class 2019 Assignment
Kajian Fillsafat Bahasa dalam Permasalahan Penilaian Berbicara Bahasa Inggris

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Berbicara/speaking merupakan salah satu keterampilan yang diajarkan kepada siswa dalam pembelajaran Bahasa Inggris. Keterampilan ini adalah salah satu dari keterampilan produktif bahasa yang terdiri dari menulis/writing dan berbicara/speaking. Berdasarkan pengalaman saya mengajar Bahasa Inggris di sebuah SMP di Gunungkidul sejak 2010, berbicara adalah salah satu keterampilan yang paling menantang untuk diajarkan di kelas. Dalam proses pembelajaran, tidak semua siswa mampu menunjukkan keterampilan berbicara dengan mudah setelah belajar Bahasa Inggris misalkan ungkapan tertentu. Berdasarkan pengamatan dan pengalaman mengajar saya selama hampir 10 tahun, berbagai faktor, baik kognitif maupun afektif mempengaruhi keterampilan siswa tersebut. Dalam sisi afektif, sikap siswa yang masih malu-malu dan kurang percaya diri mempraktikkan Bahasa Inggris yang dia peroleh menjadi salah satu penghambat siswa untuk bisa praktik berbicara dengan lancar. Sedangkan dalam sisi kognisi, pengetahun bahasa siswa yang masih kurang dari sisi vocabulary atau kosa kata dan tata bahasa serta pronunciation disinyalir sebagai penyebab kurangnya siswa terampil berbicara dalam Bahasa Inggris.
Berbagai cara telah dilakukan untuk membantu siswa “berbicara”. Cara-cara seperti drilling, games, proyek, dan berbagai praktik lainnya telah dicoba di kelas baik dalam pembelajaran maupun dalam penilaian siswa. Dari sisi penilaian yang dilakukan, didapatkan hasil yang tidak memuaskan untuk semua siswa. Hal ini menunjukkan tidak setiap teknik ataupun metode mampu mengakomodasi semua siswa dan dianggap baik untuk setiap siswa. Masih ada beberapa siswa yang mengalami permasalahan dalam pembelajaran. Hal ini sejalan dengan teori postmethod era yang menyatakan bahawa “no single approach or method is best suited for all teaching contexts” (Kumaravadivelu, 2006; Brown, 2007b).
Ditelusuri lebih lanjut, siswa yang ada di kelas tidak memiliki kemampuan yang sama, ada siswa yang high performing atau tergolong sangat cakap, average atau siswa menengah, dan ada siswa yang kurang atau low performing, bahkan ada pula siswa dengan kebutuhan khusus atau ABK. Keberagaman yang ada ini sering terabaikan baik dalam proses pembelajaran dan pengabaian ini berlanjut pada penilain. Dalam proses pembelajaran, semua siswa diajar dengan model yang sama dan diharapkan akan memiliki pace of learning atau kecepatan belajar yang sama.  Dari pembelajaran yang sama ini, beberapa siswa mungkin merasakan ketidaknyamanan atau ketertinggalan yang berakibat kurang maksimal dalam pembelajaran.
Selanjutnya, dalam penilaian keberagaman antar siswa juga sering diabaikan. Siswa diperlakukan secara sama sehingga mereka mendapatkan penilaian dengan system yang sama dengan standar tertentu. Sebagai contoh dalam penilaian berbicara di kelas Bahasa Inggris, semua siswa dinilai agar bisa mendeskripsikan tokoh terkenal melalui presentasi. Siswa dengan high performing, akan merasa tertantang dan mempresentasikan tokoh yang dideskripsikan dengan bahasa yang detail dengan lancar dan pelafalan serta intonasi seperti penutur asli.
Siswa yang berada pada rata-rata, kemungkinan bisa mempresentasikan tokoh tersebut dengan bahasa yang tepat dan penyampaian yang sederhana. Sedangkan permasalahan akan muncul pada siswa low performing, mereka bisa saja masih mengalami untuk mempresentasikan tokoh tersebut. Beberapa kesulitan terkait unsur kebahasaan dasar seperti kosa-kata yang harus digunakan dalam mendeskripsikan. Mereka masih perlu exposure atau pajanan kata sifat seperti misal inspiring, awesome, gorgeous, dsb. Hal ini membuktikan permasalahan pembelajaran Bahasa Inggris khususnya terkait keterampilan berbicara masih perlu untuk terus dikaji dan dipecahkan.  
Untuk mencari solusi dalam memecahkan permasalahan dalam pembelajaran berbicara tersebut, dua hal akan dikaji lebih dalam dalam makalah ini, yakni “berbicara atau speaking” dan “keberagaman atau difference”.  Kedua permasalahan tersebut akan dikaji dengan mencoba memahami konsep “berbicara” yang merupakan bagian tak terpisahkan dalam suatu bahasa, sehingga kemudian perlu dikaji lebih mendalam filsafat bahasa atau philosophy of language. Dalam kajian filsafat bahasa ini, kemudian akan dijabarkan ontologis, epistimologis, dan aksiologis bahasa yang kemudian dipergunakan untuk landasan mencari pemecahan masalah untuk permasalahan “berbicara” dan “keberagaman siswa” yang sudah disampaikan di latar belakang ini. 

B.  Rumusan Masalah
Dari latar belakang di atas, maka permasalahan yang akan dikaji dalam makalah ini dirumuskan sebagai berikut:
1.      Apakah filsafat bahasa: kajian ontologis, epistimologis, dan aksiologis bahasa?
2.      Bagaimana menerapkan kajian filsafat bahasa dalam penilaian keterampilan berbicara Bahasa Inggris di kelas?

C. Tujuan Kajian
Adapun tujuan dari makalah ini adalah menjawab pertanyaan yang ada di rumusan masalah di atas. Sehingga, tujuan kajian ini adalah:
1.      Mengkaji filsafat bahasa: kajian ontologis, epistimologis, dan aksiologis bahasa.
2.      Mengkaji penerapan filsafat bahasa dalam penilain keterampilan berbicara Bahasa Inggris.

D. Manfaat Kajian
Kajian ini diharapkan memberikan manfaat, baik secara teoretis maupun praktis. Secara teoritis, kajian ini diharapkan bisa memberikan pengetahuan lebih mendalam tentang filsafat bahasa dan kebermanfaatannya dalam pembelajaran Bahasa Inggris, khususnya penilaian keterampilan berbicara.
Sedangkan secara praktis, kajian ini diharapkan bisa memberikan manfaat kepada beberapa kelompok berikut:
1.      Guru Bahaasa Inggris SMP
Dengan adanya kajian ini, diharapkan memberikan manfaat kepada guru Bahasa Inggris SMP dengan memberikan gambaran awal tentang penerapan penilaian yang adil untuk seluruh siswa, khususnya dalam penilaian keterampilan berbicara.
2.      Siswa SMP
Dengan pemahaman guru tentang penilaian keterampilan berbicara yang berlandaskan pada filosofis bahasa diharapkan setiap siswa akan mendapatkan keadilan dalam penilaian di kelasnya, khususnya dalam penilaian keterampilan berbicara.
3.      Pengkaji/peneliti lain
Makalah ini diharapkan memberikan ide penelitian untuk peneliti/pengkaji berikutnya.
BAB II
PEMBAHASAN

A.    Filsafat Bahasa
Filsafat bahasa adalah bidang yang luar biasa kaya. Filsafat ini memiliki sejarah panjang.  Zegarac, V. (1998) menyampaikan dua filsafat bahasa di masa Anglo-Saxon akan dibahas di sini adalah Perspektif sistem (system perspective) dan   perspektif guna (Use perspective). Perspektif sistem memiliki paham bahwa “a language as a collection of formal rules: rules which are so simple as to require no insight to apply them.” Bahasa adalah serangkaian peraturan formal yang sederhana dan tidak memerlukan wawasan untuk mengaplikasikannya/menggunakannya. Paham filsafat ini focus pada dua hal, yaitu sintaks dan semantics. Sedangkan Perspektif guna lebih memfokuskan pada apa yang dilakukan manusia dengan bahasa. “a language is a sociocultural practice. It emphasizes what we do with language.” Dalam perspektif guna, bahasa lebih merupakan suatu praktik budaya dan social, sehingga bahasa bukan hanya digunakan untuk mendeskripsikan dunia (seperti yang tersirat dalam perspektif sistem), melainkan bisa digunakan untuk berbagai macam tujuan.
 Menurut filsafat perspektif guna, item linguistik' menurut Perspektif guna adalah tindak tutur - token linguistik, bukan tipe. Sama seperti Perspektif Sistem memiliki pandangan terkait tentang apa artinya, Perspektif guna juga memilikinya. Namun, dalam perspektif guna, kata-kata adalah alat. Dan maknanya, alih-alih menjadi objek abstrak seperti fungsi matematis dan set dunia yang mungkin, melainkan tindakan yang manusia lakukan secara linguistik. Misalnya, arti 'Halo' bukanlah entitas kuasi-matematika yang relevan dengan kebenaran. Melainkan, untuk memberi arti 'Halo', cukup mengatakan: 'Seseorang menggunakan kata ini untuk menyapa orang.
Dari kajian kedua filsafat bahasa tersebut, makalah ini akan mencoba menjabarkan bahasa secara ontologis, epistimologis, dan aksiologis.

1.      Hakikat Bahasa: kajian ontologis
Hakikat bahasa sangat luas untuk diterjemahkan atau dijelaskan dengan suatu ungkapan yang singkat. Ada banyak definisi terkait bahasa itu sendiri. Definisi yang pertama dari Cambridge Dictionary (https://dictionary.cambridge.org/, 2019) mendefinisikan bahasa dalam beberapa definisi. Salah satunya adalah “system of communication by speaking, writing, or making signs in a way that can be understood, or any of the different systems of communication used in particular regions:” Definisi pertama ini menyatakan bahasa sebagai suatu sistem komunikasi melalui berbicara, menulis, atau membuat tanda yang bisa dipahami atau system komunikasi lainnya yang digunakan di area tertentu.” Dalam definisi ini ada unsur bahasa sebagai system komunikasi dan caranya dengan berbicara atau menulis, serta alatnya adalah tanda.
Sedangkan Merriam Webster Dictionary (https://www.merriam-webster.com/, 2019) mendefinisikan bahasa sebagai “a systematic means of communicating ideas or feelings by the use of conventionalized signs, sounds, gestures, or marks having understood meanings” Artinya adalah alat/sarana sistematis untuk mengkomunikasikan ide atau perasaan dengan menggunakan tanda, suara, gerakan, atau tanda bermakna yang sudah konvensional. Dari definisi ini ada beberapa unsur yang termasuk dalam bahasa, antara lain: sistemik, alat mengkomunikasikan ide atau perasaan, symbol, suara, gerakan, dan tanda yang telah konvensional atau lazim dan diketahui orang.
Definisi serupa mengatahan bahasa sebagai bentuk perwakilan symbol-simbol “languages are forms of symbolic representations. Certain meanings are represented through the use of symbols”.   Bahasa juga didefinisikan sebagai suatu alat untuk menyampaikan ide, perasaan, dan keinginan. Selain itu, bahasa juga adalah sistem kesatuan elemen terkait satu sama lain dalam satu atau lain cara. Definisi lainnya, bahasa adalah sistem yang arbitrer berdasarkan sosial konvensi dan merupakan jumlah kiasan yang terikat dengan bunyi yang tidak disengaja dalam satu kesatuan bunyi dan makna (Ufuk Özen Baykent, 2016: 5).
Dari definisi bahasa yang disampaikan berbagai sumber, Brown (2007a: 6), menghasilkan definisi gabungan sebagai berikut:  
1.      Language is systemic.
2.      Language is a set of arbitrary symbols.
3.      Those symbols are primarily vocal but may also be visual.
4.      The symbols have conventionalized meaning to which they refer.
5.      Language is used for communication.
6.      Language operates in a speech community or culture.
7.      Language is essential to human, although possibility not limited to humans.
8.      Language is acquired by all people in much the same way; language and language learning both have universal characteristics.

Dari definisi tersebut bisa disimpulkan bahwa “Bahasa adalah suatu system symbol yang arbriter baik berisi suara maupun gambar yang telah memiliki arti secara konvensional dan digunakan untuk komunikasi dalam sebuah komunitas atau budaya oleh orang-orang”.

2.      Pendekatan Bahasa: kajian epistimologis
Epistemologi ilmu adalah proses yang dilalui untuk membuktikan pengetahuan ilmiah, maka epistemologi bahasa merupakan proses, hal-hal yang perlu diperhatikan, dan cara untuk mendapatkan ilmu bahasa. Suriasumantri (2009: 105) mengatakan bahwa cara kita menyusun pengetahuan yang benar dalam filsafati disebut epistemologi. Oleh karena itu, epistemologi bahasa dapat pula diartikan sebagai ilmu dalam pemerolehan bahasa dan pendidikan bahasa.
Ada beberapa ilmu dalam memperoleh bahasa, yang pertama terkait dalam bahasan language acquisition atau pemerolehan bahasa secara alamiah yang biasanya dihubungkan dengan pemerolehan bahasa pertama atau bahasa ibu. Sedangkan yang kedua adalah language learning atau pembelajaran bahasa yang dilakukan secara sadar dan biasanya terminologi ini digunakan dalam pembelajaran bahasa kedua atau bahasa asing. Bahasa Inggris sendiri di Indonesia merupakan bahasa asing, sehingga ilmu pemerolehan bahasa yang perlu diperdalam dalam pembelajaran di kelas lebih condong kepada penggunaan ilmu language learning.
Pembelajaran bahasa apabila dikaitkan dengan filsafat bahasa mengalami perkembangan sesuai dengan perkembangan filsafat bahasa tersebut. Dalam pendekatan perspektif guna, di mana bahasa dikenal dengan penggunaan bahasa dengan berbagai tujuan komunikasi dalam suatu konteks social budaya, maka konteks social budaya siswa menjadi pertimbangan dalam pembelajaran bahasa. Hal ini juga terlihat pada teori pembelajaran bahasa. Pemahaman tentang proses pembelajaran bahasa kedua telah berubah dalam 40 tahun terakhir dan Pendekatan communicative language teaching yang akan kita singkat dengan CLT pada makalah ini merupakan respons terhadap perubahan ini. Sebelumnya, dalam pengertian pandangan awal pembelajaran bahasa difokuskan terutama pada penguasaan kompetensi gramatikal. Pembelajaran bahasa dipandang sebagai suatu proses pembentukan kebiasaan mekanik. Kebiasaan baik terbentuk dengan memiliki siswa menghasilkan kalimat yang benar dan tidak melalui membuat kesalahan. Kesalahan adalah untuk dihindari melalui peluang terkendali untuk produksi (baik tertulis atau lisan). Dengan menghafal dialog dan melakukan latihan, peluang membuat kesalahan diminimalkan. Belajar sangat dilihat di bawah kendali guru (Richards, 2006: 3).
Namun dalam CLT, tujuan pembelajaran bahasa bukan lagi sebatas kemampuan grammatical dengan menghapal dialog. CLT bertujuan untuk mengajarkan kompetensi komunikasi (Savignon, 2001; Richards, 2006). Savignon selanjutnya menyampaikan 4 komponen dalam kompetensi komunikatif, yaitu: (1) social budaya, (2) strategi, (3) discourse, dan (4) grammatical.
Terkait kompetensi komunikasi tersebut, Richards (2006: 3) menjelaskan bahwa kompetensi komunikatif mencakup aspek-aspek pengetahuan bahasa berikut ini:
1)         Mengetahui cara menggunakan bahasa untuk berbagai tujuan dan fungsi yang berbeda.
2)         Mengetahui cara memvariasikan penggunaan bahasa sesuai dengan tempat dan dan lawan bicara (mis., tahu kapan harus menggunakan formal dan pidato informal atau kapan harus menggunakan bahasa dengan tepat untuk menulis sebagai lawan dari komunikasi lisan).
3)         Mengetahui cara menghasilkan dan memahami berbagai jenis teks (mis., narasi, laporan, wawancara, percakapan).
4)         Mengetahui cara menjaga komunikasi meskipun sudah keterbatasan dalam pengetahuan bahasa seseorang (mis., melalui penggunaan berbagai jenis strategi komunikasi)  
Untuk mencapai kompetensi tersebut, Richards (2006: 4) menyampaikan bahwa pembelajaran bahasa merupakan proses seperti:
1)         Interaksi antara pelajar dan pengguna bahasa.
2)         Penciptaan makna secara kolaboratif.
3)         Menciptakan interaksi yang bermakna dan terarah melalui bahasa.
4)         Negosiasi makna sebagai pelajar dan lawan bicaranya sampai pada pemahaman.
5)         Belajar melalui memperhatikan umpan balik yang didapat peserta saat mereka menggunakan bahasanya.
6)         Memperhatikan bahasa yang didengar (input) dan berusaha untuk memasukkan tata bahasa baru ke dalam kompetensi komunikatif yang sedang berkembang.
7)         Mencoba dan bereksperimen dengan berbagai cara untuk mengatakan sesuatu.

1.      Otonomi Pembelajar:
Memberi siswa pilihan yang lebih besar daripada mereka belajar sendiri, baik dari segi isi pembelajaran juga sebagai proses yang mungkin mereka gunakan. Penggunaan kelompok kecil adalah satu contoh dari otonomi ini, serta penggunaan penilaian diri.
2.      Sifat sosial dari pembelajaran:
Belajar bukanlah individu, aktivitas pribadi, tetapi kegiatan sosial yang tergantung pada interaksi dengan orang lain. gerakan yang dikenal sebagai pembelajaran kooperatif mencerminkan sudut pandang ini.
3.      Integrasi kurikuler:
Koneksi antar berbeda untaian kurikulum ditekankan, sehingga bahasa Inggris tidak dilihat sebagai subjek yang berdiri sendiri tetapi terkait dengan subjek lain dalam kurikulum. Pembelajaran berbasis teks mencerminkan pendekatan ini, dan berupaya mengembangkan kefasihan dalam jenis teks yang dapat digunakan secara keseluruhan kurikulum. Pekerjaan proyek dalam pengajaran bahasa juga membutuhkan siswa untuk mengeksplorasi masalah di luar kelas bahasa.
4.      Fokus pada makna:
Makna dipandang sebagai kekuatan pendorong belajar. Pengajaran berbasis konten mencerminkan pandangan ini dan berusaha untuk jadikan eksplorasi makna melalui konten sebagai inti kegiatan pembelajaran bahasa.
5.      Keragaman:
Peserta didik belajar dengan cara yang berbeda dan berbeda kekuatan. Pengajaran perlu mempertimbangkan keberagaman-keberagaman ini daripada mencoba memaksa siswa menjadi satu cetakan. Dalam bahasa mengajar, ini telah menyebabkan penekanan pada pengembangan penggunaan siswa dan kesadaran akan strategi pembelajaran.
6.      Keterampilan Berpikir:
Bahasa harus berfungsi sebagai sarana untuk berkembang keterampilan berpikir tingkat tinggi, juga dikenal sebagai kritis dan kreatif berpikir. Dalam pengajaran bahasa, ini berarti bahwa siswa tidak belajar bahasa untuk kepentingannya sendiri tetapi untuk mengembangkan dan menerapkan keterampilan berpikir mereka dalam situasi yang melampaui bahasa kelas.
7.      Penilaian alternatif:
Diperlukan bentuk penilaian baru untuk mengganti pilihan ganda tradisional dan item lain yang uji keterampilan tingkat rendah. Berbagai bentuk penilaian (mis., observasi, wawancara, jurnal, portofolio) dapat digunakan untuk membangun gambaran komprehensif tentang apa yang dapat dilakukan siswa dalam sedetik bahasa.
8.      Guru sebagai teman belajar:
Guru dipandang sebagai fasilitator yang terus-menerus mencoba berbagai alternatif, mis., belajar melalui melakukan. Dalam pengajaran bahasa, ini telah menyebabkan minat penelitian tindakan dan bentuk lain dari penyelidikan kelas

Proses dan paradigma tersebut bisa diterapkan dalam pembelajaran bahasa Inggris di kelas dengan pendekatan CLT yang saat ini dikelompokkan dalam empat metode (Richards, 2006). Keempat metode tersebut adalah: (1) communicative language teaching, (2) task-based language teaching, (3) content-based instructions, dan (4) genre-based approach (Baca: Communicative Language Teaching Today dalam Richards, 2006 untuk lebih mendalami keempat metode tersebut).

3.      Pendekatan Aksiologis Bahasa
Selanjutnya, setelah mengaji ontology dan epistimologi bahasa, aksiologis bahasa perlu juga dipahami dalam memahami pembelajaran bahasa. Pendekatan aksiologis mempelajari secara filosofis hakekat nilai atau value. Suriasumantri (2009: 33) mengatakan bahwa aksiologi dalam filsafat ilmu terkait dengan pertanyaan-pertanyaan seperti (1) untuk apa pengetahuan berupa ilmu itu dipergunakan?; (2) bagaimana kaitan antara cara penggunaan tersebut dengan kaidah-kaidah moral?; (3) bagaimana penentuan obyek yang ditelaah berdasarkan pilihan-pilihan moral?; dan (4) bagaimana kaitan antara teknik procedural yang merupakan operasionalisasi metode ilmiah dengan norma-norma moral/profesional?
Sedangkan Marsigit (2004) mengkaji penerapan filsafat dalam pembelajaran Matematika, pendekatan aksiologis dalam pembelajaran matematika menjawab pertanyaan seperti “Apakah matematika sebagai kenyataan yang bernilai atau yang diberi nilai? Apakah nilai dari kenyataan matematika bersifat intrinsik, ekstrinsik atau sistemik? Apakah nilai matematika bersifat pragmatis atau semantik?” Dalam makalah ini mencoba mengkaji pendekatan aksiologis dalam pembelajaran bahasa Inggris, dengan menjawab pertanyaan serupa, seperti “nilai-nilai atau etika apakah yang harus dijunjung dalam bahasa?” “bagaimana nilai-nilai/etika itu diterapkan?”
Abdul Chaer (2010: 6) menyebutkan bahwa etika berbahasa berkenaan dengan perilaku atau tingkah laku dalam bertutur, sedangkan kesantunan lebih pada substansi bahasanya. Selanjutnya, dia mengungkapkan teori-teori kesantunan berbahasa yang dikemukakan oleh beberapa tokoh, salah satunya adalah Robin Lakoff. Lakoff menjabarkan tiga kaidah yang harus dipatuhi agar tuturan terdengar santun oleh pendengar atau lawan tutur sekaligus menjadi skala penentu tinggi rendahnya peringkat kesantunan sebuah tuturan. Tiga kaidah tersebut antara lain yakni (1) formalitas (formality), (2) ketidaktegasan (hesitancy), dan (3) kesamaan atau kesekawanan (equality or camaraderie). Bila dijabarkan kaidah pertama itu berarti jangan memaksa atau jangan angkuh (aloof); kaidah yang kedua berarti buatlah sedemikian rupa sehingga lawan tutur atau lawan bicara kita dapat menentukan pilihan; dan kaidah yang ketiga berarti bertindaklah seolah-olah Anda dan lawan tutur Anda menjadi sama atau dengan kata lain ‘buatlah lawan tutur anda merasa senang’. Ringkasnya, tuturan dapat dikatakan santun kalau ia tidak terdengar memaksa atau angkuh, tuturan memberi pilihan tindakan kepada lawan tutur, dan lawan tutur itu menjadi senang.
 Selanjutnya, Brown dan Levinson (Abdul Chaer, 2010: 52-65) yang melihat kesantunan dengan mempertimbangkan faktor-faktor seperti (1) jarak sosial antara penutur dan lawan tutur, (2) besarnya perbedaan kekuasaan atau dominasi di antara keduanya, dan (3) status relatif jenis tindak tutur dalam kebudayaan yang bersangkutan. Mengenai tinggi rendahnya peringkat kesantunan, Brown dan Levinson menetapkan tiga skala di antaranya (1) jarak sosial, (2) status sosial penutur dan lawan tutur, dan (3) tindak tutur.
B.     Aplikasi Filsafat Bahasa dalam Penilain Keterampilan Berbicara Bahasa Inggris.
Setelah mengkaji filsafat bahasa di bagian sebelumnya, maka kita mencoba menariknya kembali kepada permasalahan di kelas Bahasa Inggris di mana ada permasalahan dalam penilaian keterampilan berbicara yang diakibatkan perbedaan atau keberagaman kemampuan siswa. Ketika diterapkan filsafat guna, di mana bahasa bukan hanya serangkaian symbol dan peraturan, melainkan symbol-simbol atau kata tersebut adalah alat komunikasi saja, maka siswa tidak perlu dibebani dengan hafalan kosa-kata yang tidak berkonteks. Dengan memperkenalkan kosa-kata dalam konteks dan tata bahasa berkonteks pembelajaran bahasa Inggris akan lebih bermakna. Pendekatan communicative language teaching (CLT) dalam realisasi filsafat guna dalam filsafat bahasa mampu menjawab tantangan-tantangan pembelajaran bahasa kedua.
Selanjutnya terkait keberagaman siswa dalam kelas Bahasa Inggris, di mana terdapat low performing, average, high performing dan bahkan ABK yang memiliki kecepatan belajar yang berbeda, kita bisa menerapkan paradigma CLT yang disampaikan oleh Jacobs dan Farrell (Richards, 2006: 26). Penerapan atau aplikasi tersebut adalah sebagai berikut:
1.      Penerapan otonomi pembelajaran dengan memberikan pilihan kepada siswa proses pembelajaran. Misalkan, apakah siswa ingin belajar dalam setting kelompok besar/kecil atau individu yang membuat mereka nyaman saat belajar. Kemudian, bagaimana mereka ingin belajar materi tertentu apakah dengan diskusi atau proyek.
2.      Mendorong siswa untuk berkolaborasi agar terasah sifat social pembelajar. Dalam penerapannya, siswa bisa belajar dengan menggunakan kelompok di mana ada berbagai macam model grouping, missal mengelompokkan siswa high performing dalam satu kelompok, anak low performing dalam satu kelompok lainnya sehingga mereka akan memiliki set task atau aktivitas yang berbeda tingkat kesulitan atau kedalaman materinya antar kelompok satu dan lainnya. Alternatif kedua adalah membuat kelompok yang mewakili keberagaman siswa. Dengan cara ini, siswa high performing bisa membantu siswa lainnya yang ada di kelompoknya.
3.      Integrasi bahasa Inggris dengan mata pelajaran lainnya. Sebagai contoh dalam pembelajaran Bahasa Inggris di kelas 9 dengan teks report, bisa berkolaborasi dengan mata pelajaran IPA sehingga siswa mampu memahami teks dengan lebih dalam. Bisa juga dilakukan proyek lintas mata pelajaran pad materi ini, sehingga siswa yang low performing di Bahasa Inggris misalnya, bisa jadi dia adalah siswa yang pintar di IPA akan termotivasi untuk menampilkan lebih.
4.      Fokus pada makna, di mana pembelajaran kosa-kata dan tata bahasa yang diberikan, walaupun pada siswa yang low performing tetaplah context-bounded atau terikat dengan konteks. Sebagai contoh, dalam pembelajaran teks report (yang merupakan teks relative sulit dipelajari karena banyak bahasa ilmiah), siswa akan dituntut membuat teks report mereka sendiri misalnya. High performing students kemungkinan tidak terlalu mengalami kendala berarti terkait tata bahasa dan kosa kata, namun untuk siswa yang kurang bisa diberikan drilling kosa-kata terlebih dahulu. Namun kosa-kata tersebut harus sesuai tema, apabila di dalam teks dibahas tentang hewan yang aktif di malam hari, maka bisa dikenalkan kata seperti nocturnal, bat, prey, dsb. Pengenalannya juga dengan konteks dalam teks yang ada atau bisa dengan gambar agar lebih dipahami.
5.      Memperhatikan keragaman yang ada. Siswa yang beragam baik secara kemampuan maupun social ekonomi perlu diakomodasi semuanya. Sehingga pembelajarab tidak hanya memintarkan si pintar dan mengabaikan yang kurang pintar. Sebuah rancangan task atau kegiatan berjenjang yang terdiri dari beberapa aktivitas bisa dikembangkan. Misalkan, Task 1 untuk aktivitas ringan yang bisa dilakukan oleh seluruh siswa. Apabila siswa selesai di Task 1 maka dia bisa belanjut ke task berikutnya. Sedangkan siswa yang masih belum selesai akan diberikan bimbingan oleh guru. Siswa yang selesai atau mencapai puncak task bisa membantu siswa lainnya. Di sini perbedaan akan menciptakan kolaborasi.
6.      Keterampilan berpikir juga diajarkan sesuai dengan kemampuan siswa.
7.      Berbagai bentuk penilaian (mis., observasi, wawancara, jurnal, portofolio) dapat digunakan. Sebagai contoh, dalam pembelajaran berbicara ungkapan “asking for agreement and disagreement”, maka akan sulit apabila semua siswa dipaksa untuk melakukan debat berbahasa Inggris, berbagai bentuk penilaian dengan misalkan praktik survey kecil, di mana siswa akan menggunakan ungkapan tersebut dalam mencari tahu pendapat/persetujuan siswa tentang hal-hal sehari-hari. Ungkapan sederhana seperti, “Do you agree that TV is not good for students?’ bisa digunakan dalam survey. Atau untuk siswa ABK, mereka mampu menuliskan dialog singkat dengan ungkapan tersebut sudah bisa dinilai sebagai keterampilan menggunakan ekspresi agreement/ disagreement.
8.      Guru sebagai teman belajar yang terus-menerus mencoba berbagai alternative untuk membantu siswa belajar di kelas. Dalam pembelajaran Bahasa Inggris, bahkan guru bisa menjadi partner berbicara mempraktikkan bahasa yang siswa peroleh.
Selain penerapan yang sesuai dengan paradigma yang disampaikan Jacobs dan Farel tersebut, saya mencoba mengusulkan penerapan hal-hal berikut ini untuk mengatasi permasalahan keberagaan siswa dalam penilaian keterampilan berbicara Bahasa Inggris:
1.      Need analysis
Analisa kebutuhan siswa dilakukan di setiap awal semester untuk mengetahui kebutuhan, keinginan, dan kekurangan siswa. Hasil analisis ini selanjutnya dipergunakan untuk pertimbangan pengembangan pembelajaran di kelas selama semester tersebut (input teks, jenis kegiatan pembelajaran, setting pembelajaran, proyek, dsb). Selain itu, informasi terkait apa dan bagaimana penilaian yang siswa inginkan juga bisa digali dalam analisa kebutuhan ini.

2.      Graded Task
Mengembangkan task atau aktivitas-aktivitas pembelajaran yang berjenjang. Task 1 dimulai dengan aktivitas mudah, kemudian naik ke Task 2 lebih sulit dan Task 3,4 dst. Siswa yang masih kurang bisa focus dalam aktivitas di Task 1 dan mendapatkan bimbingan guru di Task 1 untuk siswa berkebutuhan, sedangkan siswa yang cepat bisa berlanjut ke task berikutnya.

3.      Differentiated assessment
Penilaian dengan memperhatikan keberagaman siswa di mana siswa akan dinilai sesuai dengan kemampuannya. Sebagai contoh konkret dalam berbicara “mengungkapkan pendapat” atau “expressing opinion” Siswa high performer bisa kita beri kesempatan dengan penilaian proyek missal membuat proyek wawancara orang asing/ penutur asli Bahasa Inggris tentang pendapatnya mengenai objek wisata di Indonesia lalu divideokan dan diunggah di Youtube.
Siswa menengah (average) bisa kita beri pilihan penilaian dengan membuat video saat mereka mengungkapkan pendapat mereka tentang suatu fenomena/kebijakan di sekolah. Atau bisa juga mereka melakukan suatu survei kecil-kecilan di kelas dengan mempraktikkan ungkapan, “What’s your opinion on/of …?” Selanjutnya low performing bisa diberikan tugas membuat script dialog dan mempraktikkannya di depan kelas.

Ketiga usulan tersebut diharapkan mampu mengatasi permasalahan penilaian keterampilan berbicara di kelas Bahasa Inggris yang siswanya beragam.
Selain proses pembelajaran yang sesuai paradigma CLT, pembelajaran Bahasa Inggris tidak boleh lepas dari kajian aksiologis bahasa yaitu “kesantunan atau politeness”.  Sehingga dalam pembelajaran ungkapan-ungkapan, misalkan ungkapan mengajak/mengundang dimasukkan nilai kesantunan dengan mngajarkan situasi formal dan informal yang berpengaruh pada ungkapan yang berbeda. Contoh, dalam mengajak atau mengundang orang yang dihormati dalam situasi formal, maka ungkapan yang digunakan adalah “Would you like to come to my wedding party, Sir?” Akan memiliki kesantunan lebih dibandingkan dalam situasi yang sama menggunakan ungkapan, “Let’s go to my wedding party, Sir.”







BAB III
PENUTUP

Permasalahan penilaian keterampilan berbicara Bahasa Inggris di kelas yang siswanya beragam bisa diatasi dengan mengkaji filsafat bahasa. Filsafat bahasa perspektif guna yang menyatakan bahasa memiliki berbagai tujuan komunikasi dalam suatu konteks social budaya. Hal ini juga terlihat pada teori pembelajaran bahasa. Pemahaman tentang proses pembelajaran bahasa kedua telah berubah dan berkembanglah pendekatan communicative language teaching yang mencoba mengajarkan keterampilan komunikasi dalam pembelajaran.
Dalam penerapannya, paradigma dalam CLT (Jacobs dan Farell dalam Richards, 2006: 6) ada 8: (1) otonomi pembelajaran, (2) sifat social dari pembelajar, (3) integrasi kurikuler, (4) focus pada makna, (5) keragaman, (6) keterampilan berpikir, (7) penilaian alternative, dan (8) guru sebagai teman belajar. Sedangkan dari kajian ini, 3 alternatif diusulkan untuk mengatasi masalah keberagaman siswa dalam penilaian berbicara Bahasa Inggris, yaitu: (1) need analysis; (2) graded task, dan (3) differentiated assessment.
Kajian nilai bahasa dalam kajian aksiologis bahasa juga penting untuk dimasukkan dalam pembelajaran. Sehingga kajian “kesantunan” atau politeness tetap diajarkan dalam pembelajaran Bahasa Inggris dengan salah satunya pengenalan ungkapan sopan dalam situasi formal dan non formal.




DAFTAR PUSTAKA
Abdul Chaer. 2010. Kesantunan Berbahasa. Jakarta: PT Rineka Cipta.
Brown, H.D. (2007a). Principles of language learning and teaching-5th ed. New York: Pearson Education. 
Brown, H.D. (2007b). Teaching by Principles: an interactive approach to language pedagogy-3rd ed. New York: Pearson Education. 
Cambridge Dictionary. (2019). Laguage. Diakses dari https://dictionary.cambridge.org/ pada tanggal 19 November 2019 jam 09.58
Kumaravadivelu, B. (2006). Understanding language teaching: From method to postmethod. Mahwah, NJ: Lawrence Erlbaum.
Merriam Webster Dictionary. (2019). Language. Diakses dari  https://www.merriam-webster.com// pada tanggal 19 November 2019 jam 10.17.
Richards, J.C. (2006). Communicative  Language Teaching Today. New York: Cambridge University Press
Savignon, S.J. (2000). Communicative language teaching for the twenty first century. Dalam Teaching English as a second or foreign language-3rd ed (editor Celce-Murcia). Boston: Heinle&Heinle Thomson Learning. pp13-28.
Suriasumantri, Jujun S. 2009. Filsafat Ilmu: Sebuah Pengantar Populer. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.
Ufuk Özen Baykent. (2016). An introductory course to philosophy of language. New Castle: Cambridge Scholars Publishing.
 Zegarac, V. (1998). 'What is phatic communication?', in V. Rouchota and A. Jucker (eds) Current Issues in Relevance Theory, Amsterdam: John Benjamins. Pp 348-352.

*) Postingan ini adalah bagian dari tugas akhir Mata Kuliah Filsafat Penelitian dan Evaluasi Pendidikan pada Semester 1 Prodi S3 Penelitian dan Evaluasi Pendidikan tahun 2019 yang diampu oleh Prof. Dr. Marsigit, MA

Sunday, November 17, 2019

VALIDITAS: SUATU PENGANTAR


Validitas merupakan suatu ukuran yang menunjukkan kevalidan atau kesahihan suatu instrument. Suatu tes atau instrument memiliki validitas apabila tes/instrument tersebut mengukur apa yang seharusnya diukur. Sebagai contoh, sebuah tes untuk pelamar pekerjaan akan valid apabila tes itu mengukur kemampuan terkait kinerja di pekerjaan tersebut kelak (Allen & Yen, 1979: 95).
Pengertian serupa dirangkum Mardapi (2017: 32) dari Standard, 1999 yaitu validitas atau kesahihan menunjuk pada dukungan atau derajat bukti dan teori mendukungg penafsiran score tes sebagai tujuan penggunaan tes.  Beliau mencontohkan apabila suatu tes matematika, maka penafsiran tes tersebut harus berdasarkan teori yang digunakan yaitu definisi tentang kemampuan matematika. Hal ini mengakibatkan validitas merupakan fundamen paling dasar dalam mengembangkan  dan mengevaluasi suatu tes. Proses validasi akan mencakup pengumpulan bukti-bukti untuk menunjukan dasar keilmiahan penafsiran skor seperti yang direncanakan. Validitas adalah penafsiran skor tes seperti yang tercantum pada tujuan penggunaan tes, bukan tes itu sendiri. Apabila skor tes ditafsirkan lebih dari satu makna, setiap penafsiran atau pemaknaan harus divalidasi (Standard, 1999).
Validitas dapat dinilai melalui beberapa cara tergantung pada tes dan tujuan penggunaannya. Berikut cara penilaian validitas menurut beberapa ahli.
1.      Allen & Yen (1979: 95-114)
Allen & Yen (1979: 95-114) menyampaikan tiga jenis validitas yang utama, yaitu: content validity (validitas isi), criterion-related validity, dan construct validity.
a.      Content validity
Content validity dikembangkan melalui sebuah Analisa rasional tentang isi tes dan penentuannya berdasarkan penilaian subjektif individu. Ada dua jenis utama validitas isi, yakni face validity dan logical validity. Validitas muka terkadang disebut dengan validitas “armchair”. Validitas ini dikembangkan ketika seseorang memeriksa sebuah tes dan memutuskan bahwa tes ini menilai hal/ sifat yang relevan. Yang bisa melakukan penilaian ini bisa siapapun dari ahli sampai orang yang mengikuti tes tersebut. Jika orang-orang tidak setuju, validitas muka tersebut dipertanyakan. Validitas muka bisa jadi cukup untuk menilai suatu tes misalnya tes atau ujian di kelas. Contohnya, tes aritmatika, dalam validitas mukanya mengukur kemampuan aritmatika.
1)      Validitas muka/ face validity
Validitas muka/ face validity bisa menjadi penting untuk beberapa hal sebafai contoh suatu tes seleksi pekerjaan. Apabila tes itu tidak mengukur keterampilan calon pekerja dalam pekerjaannya kelak, maka hal ini akan menjadi hal yang kurang baik untuk divisi Humas di perusahaan tersebut apabila validitas muka tidak terpenuhi. Validitas muka bisa menjadi penting untuk penerapan tes-tes tertentu, namun, bisa jadi tidak terlalu penting di tes lainnya ketika validitas lainnya telah terpenuhi.

2)      Validitas logis/ logical validity
Selanjutnya validitas isi yang kedua adalah logical atau sampling validity. Validitas ini lebih komplek dari validitas muka. Validitas ini melibatkan pengertian dan domain sikap yang akan diukur serta desain logis untuk mencakup seluruh area penting dalam domain tersebut. Validitas logis biasanya sangat bermanfaat dalam tes prestasi.
Karena validitas isi didasarkan pada penilaian subjektif, penentuan nilai validitas ini lebih rentan terhadap kesalahan/error dibandingkan validitas lainnya. Akan tetapi, memenuhi validitas isi menjadi pertimbangan utama dalam pengembangan suatu tes dan butir-butir soal dikembangkan untuk memenuhi validitas isi. Melalui sebuah Teknik analisis butir, tes bisa ditingkatkan dan dikembangkan untuk jaminan bahwa aspek lain penilaian telah terpenuhi. Akan tetapi biasanya pemenuhan validitas isi saja tidaklah cukup, validitas lain perlu dipenuhi. Salah satu validitas tersebut adalah validitas terkait kriteria atau criterion-related validity.

b.      criterion-related validity.
Validitas terkait kriteria digunakan ketika skor tes bisa dihubungkan dengan kriteria. Kriteria tersebut adalah beberapa sikap yang diprediksi melalui tes. Sebagai contoh, untuk memperoleh validitas kriteria ini, skor sebuah tes penyaringan pekerja harus disesuaian dengan kriteria keefektifan pekerjaan. Atau untuk memperoleh validitas kriteria, skor dalam penerimaan siswa baru harus dihubungkan dengan kriteria tertentu misalnya IPK dari siswa/mahasiswa dan presentasi siswa yang bisa menyelesaikan program tersebut.
Validitas kriteria biasanya disampaikan dalam sebuah koofesisian hubungan yaitu hubungan antara skor tes (predictor) dengan skor kriteria. Korelasi ini disimbolkan dengan ρxy, di mana X adalah skor tes (predictor) dan Y adalah skor kriteria.  Koefisien validitas. ρxy dihitung melalui satu atau dua cara yaitu perhitungan validitas prediktif (predictive validity) dan perhitungan validitas bersamaan (concurrent validity).

1)      validitas prediktif (predictive validity)
Validitas prediktif ini melibatkan penggunaan skor tes untuk memprediksi sikap di masa yang akan dating. Koefisien validitas prediktif didapatkan dengan memberikan tes ke beberapa orang yang relevan/ tepat kemudian menunggu  beberapa kurun waktu untuk mengumpulkan skor kriteria dan menghitung koefisien validitasnya. Sebagai contoh, validitas prediktif dalam tes penyaringan pegawai digunakan untuk mengetas semua calon, lalu mempekerjakan seluruh pelamar, dan kemudian menunggu beberapa minggu atau bulan sampai akhirnya kriteria dapat dihitung secara reliabel misalnya melalui rating atasan atau penilaian kinerja. Prosedur ini akan memberikan informasi seberapa bagus skor tes dalam memprediksi sikap di masa yang akan datang. Kelemahannya, tes ini memakan banyak waktu dan biaya. Jika pemberi pekerjaan tidak ingin mempekerjakan semua pelamar, maka akan ada batasan baik dalam predictor maupun kriteria. Ketika suatu tes digunakan untuk mengukur atau memperkirakan sikap di masa yang akan datang maka validitas prediktif digunakan.

2)      validitas bersamaan (concurrent validity).
Namun selain validitas prediktif, sebuah alternative untuk mengukur hal serupa adalah penggunaan koefisien validitas bersamaan atau concurrent validity coefficient. Validitas ini adalah hubungannya tes dengan kriteria yang keduanya diukur dalam waktu bersamaan. Sebagai contoh, penghitungan skor predictor dan kriteria dalam suatu pekerjaan dalam waktu bersamaan. Kelemahan Teknik ini adalah keterbatasan ruang karena pekerja yang menunjukkan performa kurang baik pasi dipecat dan pelamar yang skor tesnya tidak memenuhi syarat tidak akan diterima. Concurrent validity coefficient tepat digunakan ketika skor tes digunakan untuk menilai kinerja saat ini dan bukan memprediksi kriteria di masa yang akan datang.


c.       Validitas konstruk/construct validity
Validitas jenis ketiga adalah validitas konstruk/construct validity. Validitas konstruk adalah derajat di mana tes ini mengukur konstruk teoretis dan sikap yang seharusnya diukur. Mengembangkan validitas kosntruk adalah sebuah proses terus menerus.  Berdasarkan teori terkait trait/sifat yang akan diukur, seorang pengembang tes memprediksi bagaimana tes harus  ber[erilaku dalam berbagai situasi.
Prediksi ini kemudian diuji. Jika prediksi didukung oleh data, validitas konstruk meningkat. Jika prediksi tidak didukung oleh data, setidaknya ada tiga kesimpulan alternatif itu dapat ditarik: (1) percobaan itu cacat, (2) teorinya salah dan harus direvisi, atau (3) tes tidak mengukur sifat. Meskipun membangun membangun validitas adalah proses tanpa akhir, pengembang tes dapat menunjukkan membangun validitas untuk ujian dalam situasi tertentu.
Setiap prediksi yang dapat diuji dapat dibuat untuk mendukung validitas konstruk, termasuk prediksi validitas konten dan terkait kriteria. Prediksi lain yang mungkin termasuk:
1. Perbedaan kelompok. Jika teori ini menyiratkan perbedaan kelompok (atau tidak ada perbedaan kelompok) dalam skor tes, prediksi ini dapat dipelajari dengan mengumpulkan data dan melakukan uji statistik hipotesis yang masuk akal. Sebagai contoh, satu mungkin memprediksi perbedaan antara anak-anak dan orang dewasa pada tes kematangan sosial, atau orang mungkin memprediksi tidak ada perbedaan di antara kelompok-kelompok budaya pada "culturefair" tes kemampuan.
2. Perubahan. Teori ini dapat menyiratkan bahwa skor tes berubah seiring waktu atau setelahnya intervensi eksperimen. Misalnya, tes yang mengukur komunikasi lisan keterampilan harus menghasilkan skor yang lebih tinggi ketika anak-anak tumbuh dewasa atau ketika anak-anak mengikuti kelas yang relevan di sekolah. Teori ini juga dapat memprediksi perubahan dalam beberapa skor tapi tidak untuk hal-hal yang lain. Misalnya, pengalaman pelatihan ketegasan harus mampu meningkatkan skor “ketegasan” tetapi tidak mempengaruhi skor kosa kata/ vocabulary.
3. Korelasi. Teori ini mungkin mengarahkan pengembang pengujian untuk memprediksi satu atau lebih itu korelasi apakah positif, negatif, atau nol. Sebagai contoh, kita mungkin mengharapkan skor pada tes memori jangka pendek untuk berkorelasi positif dengan usia dan tidak berkorelasidengan seks. Prediksi dapat melibatkan kumpulan korelasi.
4. Proses. Misalkan tes penalaran matematis berisi masalah kata itu menggunakan kata-kata yang sangat sulit. Berdasarkan satu teori kita dapat memprediksi semua peserta ujian sedang memproses atau memikirkan soal-soal ujian dengan cara yang sama. Namun, teori lain mungkin menuntun kita untuk berharap bahwa beberapa peserta ujian mungkin bisa untuk melakukan matematika tetapi tidak dapat memulai masalah karena kosa kata mereka lemah. Dalam contoh ini tes mengukur penalaran matematis untuk beberapa orang tingkat ujian dan kosakata untuk peserta ujian lainnya. Pemeriksaan barang konten dan korelasi antara skor item atau analisis wawancara dengan peserta ujian saat mereka menyelesaikan soal-soal ujian dapat membantu kita memilih di antara teori tentang proses kognitif yang mendasari solusi untuk item tes. Mungkin juga begitu masuk akal untuk memprediksi bahwa proses yang berbeda terjadi di antara individu atau kelompok yang berbeda. Misalnya, ada perbedaan jenis kelamin pada sebagian besar tes penalaran spasial. Seorang peneliti dapat memperkirakan bahwa kedua jenis kelamin akan diproses item tes spasial dengan cara yang berbeda dan kemudian menguji prediksi ini.
Beberapa aspek yang ada dalam konstruk validitas akan dijabarkan dalam penjelasan berikut ini.
1) Validitas Multitrait-Multi metode
            Validitas multitrait-multi metode adalah aspek validitas konstruk yang dulu dikembangkan oleh Campbell dan Fiske (1959). Metode ini digunakan saat dua atau lebih sifat-sifat diukur dengan dua metode atau lebih. Misalkan dua sifat introversi dan neurotisme diukur dengan dua metode, soal true-false (T-F) dan soal pilihan ganda (M-C). Keempat tes diberikan kepada sampel orang, dan matriks validitas multitrait-multimethod yang dihasilkan muncul pada Tabel 5.9 ini. Matriks validitas itu mirip dengan matriks korelasi, yang merupakan tampilan persegi panjang dari korelasi. Korelasi muncul di persimpangan setiap baris dan kolom korelasi antara skor pelabelan baris dan kolom itu. Misalnya, korelasi antara skor T-F neurotisme dan skor T-F introversi adalah 0,20. Biasanya matriks korelasi memiliki 1.0s onits utama diagonal (yang berjalan dari atas sudut kiri ke sudut kanan bawah matriks); yaitu korelasi masing-masing variabel dengan dirinya sendiri, menurut definisi, sama dengan 1.0. Metode multitrait-multimetode matriks validitas adalah matriks korelasi dengan 1.0s digantikan oleh estimasi reliabilitas. Misalnya, perkiraan reliabilitas skor T-F introversi adalah 80.
Pertimbangkan properti yang harus dimililiki oleh matriks multitrait-multimethod ini. Keandalan di diagonal utama harus besar. Korelasi antara dua ukuran yang berbeda dari satu sifat juga harus tinggi. Korelasi antara ukuran sifat yang tidak terkait harus rendah. Korelasi antara skor tes mengukur sifat yang berbeda harus lebih kecil dari korelasi antara skor tes mengukur sifat yang sama. Tabel 5.9 merangkum hasil validitas multitrait-multi metode untuk sifat-sifat A dan B diukur dengan metode 1 dan 2.
 

Dua tipe utama validitas multitrait-multimethod diilustrasikan dalam Tabel 5.10: validitas konvergen dan validitas diskriminan. Validitas konvergen ditunjukkan oleh korelasi tinggi antara skor pada tes yang mengukur sifat yang sama dengan metode yang berbeda (misalnya, rA1A2, rb b2). Korelasi tinggi ini menunjukkan bahwa tes menyatu pada sifat tersebut. Validitas diskriminan ditunjukkan oleh korelasi yang rendah antara skor pada tes yang mengukur sifat yang berbeda (misalnya, rAlBl, rA1B2, rA2Bl, RA2B2), terutama ketika menggunakan metode yang sama (rAlBl, rA2B2) . Korelasi rendah ini menunjukkan bahwa tes membedakan antara berbagai sifat. Korelasi dalam Tabel 5.9 menunjukkan kedua validitas, baik validitas multitrait-multimethod diskriminatif dan konvergen.
Ketika ada lebih dari dua sifat atau metode, metode multitrait-multimetode matriks validitas lebih besar dan sedikit lebih rumit. Namun, jenis yang sama pola harus terjadi untuk menunjukkan validitas konvergen dan diskriminan. Pola korelasional itu harus memiliki nilai tinggi untuk reliabilitas dan korelasi internal, nilai rendah untuk korelasi lintas sifat, dan korelasi yang menunjukkan hal itu tidak ada bias karena metode. Metode bias hadir jika korelasi antara skor untuk sifat yang berbeda lebih tinggi ketika metode yang sama digunakan untuk mengukur keduanya sifat daripada ketika metode yang berbeda digunakan untuk mengukur sifat. Misalnya, jika rAlBl dan rA2b2 jauh lebih besar daripada rA lB2 dan rA2B1, bias metode disarankan karena korelasi yang lebih besar ketika sifat-sifat tersebut diukur dengan metode yang sama. Namun jika rA1B1 hampir sama  dengan rA1B2, rA2B1, dan rA2B2, ada bukti bahwa sifat-sifat diukur tanpa bias metode.

2) Validitas faktorial
Validitas faktorial adalah suatu bentuk validitas konstruk yang ditetapkan melalui analisis faktor. Analisis faktor adalah istilah yang mewakili sejumlah besar perbedaan prosedur matematis untuk menganalisis keterkaitan di antara seperangkat variabel dan untuk menjelaskan keterkaitan ini dalam jumlah variabel yang dikurangi, yang disebut faktor. Suatu faktor adalah variabel hipotetis yang mempengaruhi skor pada satu atau lebih variabel yang diamati. Sebagai contoh, lihatlah matriks korelasi pada Tabel 5.11. Meskipun ada tiga skor tes yang berkorelasi, jelas bahwa hanya satu faktor yang diukur, karena tingginya korelasi antar nilai ujian. Alih-alih membutuhkan tiga skor untuk setiap orang, satu skor saja cukup.
Pertimbangkan korelasi pada Tabel 5.12. Dua faktor sedang diukur oleh empat tes; tes 1 dan 2 mengukur satu faktor, dan tes 3 dan 4 mengukur faktor yang lain. Kedua faktor tersebut tidak berkorelasi, karena dua pasang tes tidak berkorelasi, seperti yang ditunjukkan oleh nol dalam matriks.
Sekarang perhatikan korelasi pada Tabel 5.13. Sekali lagi, dua faktor sedang diukur; tes 1 dan 2 mengukur satu faktor, dan tes 3 dan 4 mengukur yang lain faktor. Namun, kali ini kedua faktor tersebut tampaknya sedikit berkorelasi, seperti ditunjukkan oleh korelasi rendah (.10, .20, dan .30) dalam matriks.
Contoh-contoh sebelumnya melibatkan metode analisis faktor "bola mata". Dari pemeriksaan visual hanya dari matriks, jelas berapa banyak factor yang ada. Namun, ketika ada banyak variabel dalam matriks korelasi dan hubungan timbal balik di antara mereka sangat kompleks, tidak begitu mudah untuk ditentukan berapa banyak faktor yang ada, dan bahkan para ahli mungkin tidak setuju pada jumlah factor dan hubungan timbal balik mereka. Namun, logika yang mendasari contoh sederhana kami tetap sama untuk kasus kompleks.
Analisis faktor seperangkat skor tes membantu penyelidik mengidentifikasi variabel yang penting yang mempengaruhi kinerja pada prestasi heterogen. Misalnya, analisis faktor skor subtest dari intelijen standar tes telah menggambarkan dimensi kinerja yang penting pada tes, dan dimensi-dimensi ini telah diperiksa untuk melihat apakah mereka memiliki nilai untuk diagnosa dan menjelaskan ketidakmampuan belajar
2.      Mardapi (2017:
Dalam bukunya Pengukuran, Penilaian, dan Evaluasi Pendidikan, Mardapi (2017: 32-45) menyampaikan validitas-validitas tersebut dengan cara yang berbeda. Berdasarkan tujuan penggunaan tes, bukti validitas dikelompokkan menjadi empat, yaitu bukti berdasarkan isi tes, bukti berdasarkan proses respons, bukti berdasarkan struktur internal, dan bukti berdasarkan hubungan dengan variable lain.
a.       Bukti Berdasarkan isi tes
Berdasarkan isi tes dapat dieroleh dari suatu analisis hubungan antara isi tes dan konstruk yang ingin diukur. Isi tes pada tema, kata-kata, format butir, tugas, dan pertannyaan tes, seperti juga prosedur administrasi dan penskoran. Bukti validitas isi dapat diperoleh dari analisis hubungan antara isi tes dengan konstruk yang ingin diukur. Bukti validitas isi sering dijelaskan dalam validitas tampang (face validity) dan validitas logic (logical validity).

b.      Bukti berdasarkan respons.
Analisis teori dan empiric terhadap proses respons peserta tes dapat memberi kesesuaian antara konstruk dan respon peserta tes. Apabila tujuan tes  tes untuk mengungkapkan kemampuan penalaran marematika peserta didik, maka isi tes berupa pertanyaan terkait kemampuan matematika.

c.       Bukti berdasarkan hubungan dengan variable lain
Analisis skor tes dengan variable ekternal dilakukan untuk melengkapi bukti validitas. Variabel ekternal bisa berupa kriteria bahwa tes diharapkan memprediksi, seperti hubungan dengan tes lain yang diduga mengukur konstrak yang sama dengan tes lain yang mengukur hal yang berbeda. Kriteria lain seperti kriteria performans sering digunakan untuk keperluan seleksi atau penempatan kepegawaian. Bukti validitas dengan hubungan dengan variable lain sering disebut dengan validitas terkait kriteria (criterion validity).
   *) untuk bukti berdasarkan struktur internal tidak terdapat pembahasan dalam poin tersendiri, namun apabila dipahami penjelasannya tersirat masuk dalam bukti berdasarkan respons yang terdiri dari validitas multutrait-multimetode dan validitas factorial. 

Perjuangan 5 Besar: Calon Duta Teknologi DIY 2024

  Halo Educators Hebad,  Maafkan saya yang lama tidak menyapa. Beberapa hari ini alhamdulillah kembali bergulat dengan waktu dan sat set men...