Marsigit Philosophy Class 2019 Assignment 1
PERMASALAHAN PENILAIAN DALAM PEMBELAJARAN BAHASA INGGRIS
PERMASALAHAN PENILAIAN DALAM PEMBELAJARAN BAHASA INGGRIS
Oleh
Laily Amin Fajariyah
(NIM. 19701261019)
Marsigit Philosophy Class 2019 Assignment 1. Berdasarkan pengalaman saya mengajar Bahasa Inggris
di sebuah SMP di Gunungkidul sejak 2010, pembelajaran Bahasa Inggris masih
menjadi pembelajaran yang “ditakuti” selain Matematika. Siswa merasakan semacam
beban dalam belajar Bahasa Inggris. Mereka belajar mata pelajaran tersebut
karena memang bagian dari pembelajaran wajib di sekolah. Kurangnya kesadaran
pentingnya Bahasa Inggris dalam kehidupan sehari-hari menjadikan motivasi
belajar mereka kurang. Di sini sebagai guru, tugas saya yang pertama adalam
membuat mereka tertarik belajar Bahasa Inggris dan kemudian aktif dalam
pembelajaran.
Dalam pembelajaran Bahasa Inggris, ada empat keterampilan
yang harus dimiliki siswa. Keempat keterampilan tersebut adalah: membaca,
menulis, mendengarkan, dan berbicara. Setiap keterampilan mempunyai tantangan
tersendiri. Berbicara/speaking merupakan salah satu keterampilan yang diajarkan
kepada siswa dalam pembelajaran Bahasa Inggris. Keterampilan ini adalah salah
satu dari keterampilan produktif bahasa yang terdiri dari menulis/writing dan
berbicara/speaking. Berbicara adalah salah satu keterampilan yang paling
menantang untuk diajarkan di kelas. Dalam proses pembelajaran, tidak semua
siswa mampu menunjukkan keterampilan berbicara dengan mudah setelah belajar
Bahasa Inggris misalkan ungkapan tertentu. Berdasarkan pengamatan dan
pengalaman mengajar saya selama hampir 10 tahun, berbagai faktor, baik kognitif
maupun afektif mempengaruhi keterampilan siswa tersebut. Dalam sisi afektif,
sikap siswa yang masih malu-malu dan kurang percaya diri mempraktikkan Bahasa
Inggris yang dia peroleh menjadi salah satu penghambat siswa untuk bisa praktik
berbicara dengan lancar. Sedangkan dalam sisi kognisi, pengetahun bahasa siswa
yang masih kurang dari sisi vocabulary atau kosa kata dan tata bahasa serta
pronunciation disinyalir sebagai penyebab kurangnya siswa terampil berbicara
dalam Bahasa Inggris.
Berbagai cara telah dilakukan untuk membantu siswa
“berbicara”. Cara-cara seperti drilling, games, proyek, dan berbagai praktik
lainnya telah dicoba di kelas baik dalam pembelajaran maupun dalam penilaian
siswa. Dari sisi penilaian yang dilakukan, didapatkan hasil yang tidak
memuaskan untuk semua siswa. Hal ini menunjukkan tidak setiap teknik ataupun
metode mampu mengakomodasi semua siswa dan dianggap baik untuk setiap siswa.
Masih ada beberapa siswa yang mengalami permasalahan dalam pembelajaran. Hal
ini sejalan dengan teori postmethod era yang menyatakan bahawa “no
single approach or method is best suited for all teaching
contexts” (Kumaravadivelu, 2006; Brown,
2007b).
Ditelusuri lebih lanjut, siswa yang ada di kelas
tidak memiliki kemampuan yang sama, ada siswa yang high performing atau
tergolong sangat cakap, average atau siswa menengah, dan ada siswa yang
kurang atau low performing, bahkan ada pula siswa dengan kebutuhan
khusus atau ABK. Keberagaman yang ada ini sering terabaikan baik dalam proses
pembelajaran dan pengabaian ini berlanjut pada penilain. Dalam proses
pembelajaran, semua siswa diajar dengan model yang sama dan diharapkan akan
memiliki pace of learning atau kecepatan belajar yang sama. Dari pembelajaran yang sama ini, beberapa
siswa mungkin merasakan ketidaknyamanan atau ketertinggalan yang berakibat
kurang maksimal dalam pembelajaran.
Selanjutnya, dalam penilaian
keberagaman antar siswa juga sering diabaikan. Siswa diperlakukan secara sama
sehingga mereka mendapatkan penilaian dengan system yang sama dengan standar
tertentu. Sebagai contoh dalam penilaian berbicara di kelas Bahasa Inggris,
semua siswa dinilai agar bisa mendeskripsikan tokoh terkenal melalui
presentasi. Siswa dengan high performing, akan merasa tertantang dan
mempresentasikan tokoh yang dideskripsikan dengan bahasa yang detail dengan
lancar dan pelafalan serta intonasi seperti penutur asli.
Siswa yang berada pada rata-rata, kemungkinan bisa
mempresentasikan tokoh tersebut dengan bahasa yang tepat dan penyampaian yang
sederhana. Sedangkan permasalahan akan muncul pada siswa low performing,
mereka bisa saja masih mengalami untuk mempresentasikan tokoh tersebut.
Beberapa kesulitan terkait unsur kebahasaan dasar seperti kosa-kata yang harus
digunakan dalam mendeskripsikan. Mereka masih perlu exposure atau
pajanan kata sifat seperti misal inspiring, awesome, gorgeous, dsb. Hal
ini membuktikan permasalahan pembelajaran Bahasa Inggris khususnya terkait
keterampilan berbicara masih perlu untuk terus dikaji dan dipecahkan.
Dari penjabaran di atas, dapat diidentifikasi
permasalahan pembelajaran di kelas saya sebagai berikut:
1.
Bahasa Inggris
masih menjadi mata pelajaran yang “ditakuti”.
2.
Bahasa Inggris
menjadi beban bagi siswa, siswa belum sadar pentingnya Bahasa Inggris.
3.
Motivasi untuk
belajar Bahasa Inggris masih rendah.
4.
Pembelajaran
Bahasa Inggris dalam keempat keterampilan memiliki tantangan masing-masing.
5.
Keterampilan
produktif siswa yang berupa menulis dan berbicara menuntut siswa memproduksi
Bahasa Inggris merupakan keterampilan yang “menantang”.
6.
Dalam proses
pembelajaran, tidak semua siswa mampu menunjukkan keterampilan berbicara dengan
mudah.
7.
Kendala
afektif dalam berbicara terjadi misalnya kurangnya kepercayaan diri siswa dalam
berbicara.
8.
Kendala/faktor
kognitif adalah pengetahun bahasa siswa yang masih kurang dari sisi vocabulary
atau kosa kata.
9.
Kurangnya
pengetahuan siswa dalam tata bahasa.
10. Kurangnya pengetahuan dan kepercayaan diri untuk
melafalkan/pronunciation disinyalir sebagai penyebab kurangnya siswa terampil
berbicara dalam Bahasa Inggris.
11. Guru mencoba berbagai Teknik
(drilling, games, survey, projek) dalam pembelajaran dan penilaian Bahasa
Inggris dan belum semuanya sukses.
12. tidak setiap teknik ataupun metode mampu
mengakomodasi semua siswa dan dianggap baik untuk setiap siswa (“no single approach or method is best suited for all
teaching contexts”)
13. Siswa yang ada di kelas tidak memiliki kemampuan
yang sama, ada siswa yang high performing atau tergolong sangat cakap, average
atau siswa menengah, dan ada siswa yang kurang atau low performing,
bahkan ada pula siswa dengan kebutuhan khusus atau ABK.
14. Pembelajaran masih dilakukan dengan cara yang sama
untuk semua jenis siswa (low performing, average, high performing, dan
bahkan ABK)
15. Dalam penilaian keberagaman antar siswa juga
sering diabaikan. Siswa diperlakukan secara sama sehingga mereka mendapatkan
penilaian dengan system yang sama dengan standar tertentu.
*) Postingan ini adalah bagian dari tugas akhir Mata Kuliah Filsafat Penelitian dan Evaluasi Pendidikan pada Semester 1 Prodi S3 Penelitian dan Evaluasi Pendidikan tahun 2019 yang diampu oleh Prof. Dr. Marsigit, MA